WELLCOME

SELAMAT DATANG DI BLOG YANG MENCOBA UNTUK SHARING TENTANG INFORMASI APA SAJA.

Rabu, 08 Agustus 2012

Kamis, 26 Juli 2012

ANCAMAN TERHADAP ETIKA SOSIAL DI ERA SOCIAL NETWORK


 oleh : Rinto Bayu Wibowo

Kemajuan teknologi informasi sangat cepat pada kurun waktu 6 tahun ini. Kemajuan teknologi ini merupakan tantangan bagi kita semua tidak memandang usia baik itu bagi anak anak, remaja dan dewasa. Ada sebagian kalangan yang mampu menjawabnya dengan baik namun tidak sedikit yang “ keblinger” dan menjadi boomerang masalah bagi dirinya sendiri. Manusia jaman sekarang telah begitu terbuka dalam memenuhi kebutuhannya tentang informasi, lebih senang sesuatu yang instan, cepat dan mudah dalam memperoleh keinginannya sehingga daya juang semakin menurun. Kita semakin terbuka bebas dan tidak terlalu banyak mempedulikan rasa dalam berkomunikasi.
Kecenderungan sifat ini semakin lama semakin terasa pada pertumbuhan anak anak kita. Saya cukup prihatin dalam memperhatikan bagaimana anak anak bersosialisasi pada jaman sekarang. Anak anak kita ini benar benar terlena terhadap kemajuan media informasi, mengisolasi dirinya dan lebih senang berhadapan dengan layar internet, jejaring sosial, game online yang mengakibatkan anak mempunyai retensi terhadap hubungan sosial masyarakat secara nyata. Berdasarkan hal itu maka saya cukup yakin bahwa kita harus mulai menyalakan lampu tanda bahaya terhadap kelangsungan etika moral manusia di zaman yang akan datang.
Mari kita coba lihat dan rasakan terhadap apa yang ditulis anak anak kita di wall situs jejaring sosial mereka. Selama ini saya mengikuti bahwa umpatan, keluhan, hujatan, cara berkomunikasi secara kasar dan tidak meneduhkan hati, lebih mendominasi tulisan mereka dari pada kata kata lembut sopan dan penuh etika. Mereka juga dengan tidak banyak berfikir  mengunggah foto foto yang tidak pantas mengenai kehidupan pribadi mereka atau gambar lain yang tidak etis di sajikan di kehidupan sosial. Tanpa sadar mereka telah melakukan dosa selama 24 jam sehari. Apa yang mereka tulis mampu merepresentasikan keadaan hati dan emosional anak anak kita atau bahkan juga mampu merepresentasikan hasil pendidikan kita yang sebenarnya secara lebih nyata daripada hanya sekedar angka diselembar kertas. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana cyberwar of comunication melanda dua keluarga selebritis dengan latar belakang pendidikan yang tinggi. Bagaimana ini bisa terjadi? apakah para orang tua juga mengalami gegar teknologi yang sama ?  bagaimana dengan adanya kasus video ariel yang membuat gempar dan hukuman yang ia terima. Apakah kasus itu tidak dapat diambil hikmah dan pelajaran oleh anak anak kita?
Apa yang dilakukan anak anak kita saat mengaktualisasikan diri ini kadang tidak berdasarkan pemahaman utilitarianisme dimana memandang bahwa moralitas sebuah tindakan diukur dari konsekuensi yang diakibatkannya, apakah tindakan tersebut meningkatkan kebahagianan kenyamanan banyak orang atau justru sebaliknya. Kita harus  mulai memberikan kontribusi pemahaman baik melalui bangku sekolah maupun keluarga mengenai tingkah laku di dunia maya ini agar semua pihak dapat menggunakan hasil kemajuan teknologi dengan santun.

Pentingnya Kepemimpinan Transformasional Dalam Meningkatkan Kinerja Sekolah



Posted by: ibnu nasir on: Juni 5, 2012
Kepemimpinan merupakan proses dimana seorang individu mempengaruhi sekelompok individu untuk mencapai suatu tujuan. Untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif, seorang kepala sekolah harus dapat mempengaruhi seluruh warga sekolah yang dipimpinnya melalui cara-cara yang positif untuk mencapai tujuan pendidikan di sekolah. Secara sederhana kepemimpinan transformasional dapat diartikan sebagai proses untuk merubah dan mentransformasikan individu agar mau berubah dan meningkatkan dirinya, yang didalamnya melibatkan motif dan pemenuhan kebutuhan serta penghargaan terhadap para bawahan.
Terdapat empat faktor untuk menuju kepemimpinan tranformasional, yaitu : idealized influence, inspirational motivation, intellectual stimulation, dan individual consideration.
  1. Idealized influence: kepala sekolah merupakan contoh yang ideal untuk di percaya, di hormati, dan menjadi panutan untuk para guru dan karyawan
  2. Inspirational motivation: kepala sekolah merupka seorang motivator ulung dalm memacu semangat undernaline agar orang dapat bekerja sesuai yang diharapkan.disaat para guru sedang mengalami kondisi down.kepala sekolah harus memasuki untuk menyemangati
  3. Intellectual Stimulation: kepala sekolah harus dapat menumbuhkan kreativitas dan inovatif dalam jiwa guru baik dalam mengajar maupun pemecahan solusi yang sedang di hadapi guru
  4. Individual consideration: kepala sekolah dapat bertidak sebagai traniner bagi para guru dan staf stafnya
Berdasarkan hasil kajian literatur yang dilakukan, Northouse (2001) menyimpulkan bahwa seseorang yang dapat menampilkan kepemimpinan transformasional ternyata dapat lebih menunjukkan sebagai seorang pemimpin yang efektif dengan hasil kerja yang lebih baik. Oleh karena itu, merupakan awal positif untuk sebuah sekolah untuk berkembang menjadi lebih baik
Karena kepemimpinan transformasional harus bisa membangun rasa percaya diri bawahan sehingga merasa yakin kemammpuan yang akan dimiliki. Pemimpin harus berharapan yang lebih tinggi kemungkinan harapan kepada bawahan untuk menuju keberhasilan yang di harapkan, dan sebagai seorang kepala sekolah. Ia harus mengubah sumber daya yang baik terhadap manusia maupun situasi untuk pencapaian tujuan penigkatan kualitas pendidikan di sekolah. Northouse (2001) memberikan beberapa tips untuk menerapkan kepemimpinan transformasional, yakni sebagai berikut:
  1. Berdayakan seluruh bawahan untuk melakukan hal yang terbaik untuk organisasi
  2. Berusaha menjadi pemimpin yang bisa diteladani yang didasari nilai yang tinggi
  3. Dengarkan semua pemikiran bawahan untuk mengembangkan semangat kerja sama
  4. Ciptakan visi yang dapat diyakini oleh semua orang dalam organisasi
  5. Bertindak sebagai agen perubahan dalam organisasi dengan memberikan contoh bagaimana menggagas dan melaksanakan suatu perubahan
  6. Menolong organisasi dengan cara menolong orang lain untuk berkontribusi terhadap organisasi
Prinsip-Prinsip Kepemimpinan Transformasional
Paradigma baru dari kepemimpinan transformasional mengangkat tujuh prinsip untuk menciptakan kepemimpinan transformasional yang sinergis sebagaimana di bawah ini (Erik Rees : 2001) :
  1. Simplifikasi, keberhasilan dari kepemimpinan transformasional adalah mengungkapkan visi yang jelas, sehingga kita akan tahu kemana kah kita akan melangkah selanjutnya 
  2. Motivasi pada kepemimpinan transformasional mendapatkan kekuatan dalm organisasi, dia akan mengoptimalkan anggota bawahannya untuk mencapai perubahan individu yang diharapkan. Pihak dari pemimpin member peluang bagi para bawahannya agar ikut serta 
  3.  Fasilitasi, kepemimpinan transformasional akan memfasilitas bawahannya dalam “pembelajaran”, agar tingkat intelektualnya bertambah maju 
  4. Inovasi, kemampuan melakukan perubahan secara berani dan bertanggung jawab yang bertujuan untuk organisasi,  agar dapat berjalan secara efektif dan efisien. Yang juga di ikuti oleh bawahanya tanpa rasa takut 
  5. Mobilitas memperkuat seluruh bawahan dengan pengetahuan intelektual yang bertujuan untuk mencapai visi – misi yang diharapkan. Dan pemimpin transformasional mengupayakan para pengikutnya untuk  bertanggung jawab 
  6. Siap Siaga, kemampuan selalu siap, dalam menghadapi perubahan yang akan dating dalam berbagai hai 
  7. Tekad, jika semua prinsip ke 6 di gabungkan tanpa adanya tekad atau kemauan mustahila akan berjalan sesuai yang di harapkan

Rabu, 04 Juli 2012

PEMERATAAN PENDIDIKAN SEBUAH TINJAUAN KRITIS TERHADAP IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS)


LATAR BELAKANG 

Rinto bayu wibowo

            Pendidikan adalah sebuah sarana pokok untuk dapat mencapai kemajuan sebuah negara. Dari sektor pendidikan inilah kita mengharapkan terciptanya kader kader penerus bangsa yang mampu memimpin dan membangun indonesia agar mampu bersaing menghadapi kemajuan zaman. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita sudah mempersiapkan dunia pendidikan kita dengan baik? Apakah kita sudah menjalankan amanat undang undang dasar. Kita harus mengakui bahwa masih banyak hal yang perlu kita perbaiki untuk mencapai cita cita tersebut.
            Pada kurun waktu beberapa tahun akhir ini dunia pendidikan kita sedang mengalami berbagai macam cobaan dan rintangan untuk mewujudkan mutu pendidikan yang baik. Berbagai macam kasus bermunculan baik di pusat maupun daerah, maka untuk menanggulangi hal tersebut pemerintah selalu berusaha untuk membuat berbagai macam program yang mendukung perbaikan mutu pendidikan. Perbaikan mutu pendidikan ini dimulai dengan adanya keputusan pemerintah bahwa pendanaan atau pembiayaan pendidikan dianggarkan sebesar 20 % dari APBN dan APBD. Hal tersebut tercantum dalam perubahan keempat undang undang dasar 45 pasal 31 yang berbunyi sebagai berikut:
  1. Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan
  2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya
  3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.
  4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
  5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradapan serta kesejahteraan umat manusia.
Munculnya konsep school based management atau manajemen berbasis sekolah diindonesia mulai tahun 1999 tepat setelah runtuhnya rezim soeharto pada tahun 1998 yang mengangkut prinsip sentralisasi dalam pemerintahan. Perubahan paradigma dalam dunia kependidikan indonesia seperti terlihat dalam undang undang tersebut tidak lepas dari perubahan paradigma pemerintahan berupa desentralisasi. Dengan adanya desentralisasi maka pelimpahan wewenang dalam bidang pendidikanpun terjadi dimana MBS atau manajemen berbasis sekolah adalah salah satu program atau konsep yang merepresentasikan hal itu. Landasan hukum pelaksanaan MBS di sekolah adalah sebagai berikut :
1.      Undang undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah.
2.      Undang undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.
Berdasarkan undang undang tersebut maka manajemen berbasis sekolah ini menjadi populer di kalangan dunia pendidikan indonesia dan mulai digalakkan pada tahun 2001. Penerapan MBS ini sendiri seiring berjalannya waktu mengalami berbagai macam kendala dan masalah yang mengakibatkan kurang maksimalnya pemberian layanan pendidikan pada konsumen dalam hal ini orangtua siswa dan siswa itu sendiri.



KONSEP MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

Definisi  Manajemen Berbasis Sekolah

                Prof. Slamet PH (2001) mendefinisikan MBS berangkat dari kata  manajemen, berbasis, dan sekolah. Menurut Slamet, manajemen berarti koordinasi dan penyerasian sumber daya melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Berbasis artinya “berdasarkan pada” atau “berfokuskan pada”. Sedangkan  sekolah merupakan organisasi terbawah di jajaran Departemen Pendidikan Nasional  (Depdiknas) yang bertugas memberikan “bekal kemampuan dasar” kepada peserta didik atas dasar ketentuan-ketentuan yang bersifat legalistik (makro, meso, mikro) dan profesionalistik (kualifikasi, untuk sumber daya manusia).  Atas dasar itu pula, Prof.Slamet PH menyimpulkan bahwa MBS adalah pengkoordinasian dan penyerasian sumber daya yang dilakukan secara otonom (mandiri) oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional, dengan melibatkan semua kelompok kepentingan  yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan (partisipatif). Kelompok kepentingan tersebut meliputi: kepala sekolah dan wakil-wakilnya, guru, siswa, konselor, tenaga administratif,  orangtua siswa, tokoh masyarakat, para profesional, wakil pemerintahan, wakil organisasi pendidikan. Adapun ahli lain dalam jurnal pendidikan yang di muat oleh UNESCO pada tahun 1998 menyatakan bahwa :
School-based management can be viewed conceptually as a formal alternation of governence structures, as a form or decentralization that identifies the individual school as the primary unit of improvement and relies on the redistribution of decision making authority as the primary means through which improvement might be stimulated and sustained (malen, Ogawa and Kranz,1990,p.1)
Manajemen berbasis sekolah secara konseptual dapat dilihat sebagai pergantian struktur formal kepemerintahan, sebagai bentuk atau desentralisasi yang mengidentifikasi sekolah sebagai unit utama dalam peningkatan dan bergantung pada redistribusi otoritas pengambilan keputusan sebagai sarana utama melalui perbaikan mana yang mungkin dirangsang dan secara berkelanjutan (Malen, Ogawa dan Kranz, 1990, hal.1).
Berdasarkan dua pengertian tersebut dapat diambil pengertian MBS secara singkat yaitu pemanfaata  sumberdaya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional, dengan melibatkan stake holder sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan.

Tujuan MBS


            Sebuah sekolah yang telah menerapkan MBS pastilah mampu menerjemahkan konsep dan memahami bahwa MBS ini dialaksanakan dengan sebuah tujuan tertentu. Adapun tujuan MBS menurut bebrapa ahli mempunyai bahasa yang berbeda namun dapat kita tarik benang merahnya berupa “perberdayaan”, dalam tulisan ini kami mengangkat tujuan MBS berdasarkan dari dua sumber yaitu sebagai beikut :
Manajemen berbasis sekolah bertujuan untuk “memberdayakan” sekolah, terutama sumberdaya manusianya (kepala sekolah, guru,karyawan, siswa, orang tua siswa dan masyarakat sekitarnya), melalui pemberian kewenangan, fleksibilitas dan sumber daya lain untuk memecahkan persoalan yang dihadapi oleh sekolah yang bersangkutan. (Prof. Slamet PH, Med, MLHR, Ph.D )
Selain pendapat dari Prof slamet PH, kemendiknas dalam buku pedoman juga menyampaikan tujuan MBS di indonesia adalah sebagai berikut : 
  • Meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan kemandirian, fleksibilitas, partisipasi, keterbukaan, kerjasama, akuntabilitas, kesinambungan daninisiatif sekolah dalam mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan sumberdaya yang tersedia ;
  • Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama ;
  • Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat dan pemerintah tentang mutu sekolahnya ;
  • Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai
  • Meningkatkan efisiensi, relevansi, dan pemerataan pendidikan di mana sekolah berada.
Dengan tujuan program yang jelas maka dapat dipastikan semua kegiatan yang dilakukan di dalamnya pasti mempunyai dasar untuk mewujudkan tujuan tersebut, dan dalam pelaksanaanya kita dapat melihat secara nyata mana sekolah yang telah melaksanakan MBS dan mana yang tidak melalui berbagai macam karakteristik yang muncul.

Karakteristik MBS

Karakteristik MBS dapat kita rangkum berdasarkan input, proses dan output pendidikannya, dalam tabel dibawah ini penulis mencoba untuk meragkum karakteristik MBS berdasarkan buku pedoman yang ada. Menurut Depdiknas pada tahun  2003 karakteristik MBS diantaranya adalah :
Input pendidikan
Proses pendidikan
Output pendidikan

1.    Memiliki kebijakan, tujuan dan sasaran mutu yang jelas
2.    Tersedianya sumberdaya
3.    Staf yang kompeten dan berdedikasi tinggi
4.    Memiliki harapan prestasi yang tinggi
5.    Fokus pada pelanggan (khususnya peserta didik)
6.    Input manajemen

1.      Proses pembelajaran yang efektifitasnya tinggi
2.      Kepemimpinan sekolah yang kuat
3.      Lingkungan sekolah yang aman dan tertib
4.      Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif
5.      Sekolah memiliki budaya mutu
6.      Sekolah memiliki team work yang kompak, cerdas dan dinamis
7.      Sekolah memiliki kewenangan (kemandirian)
8.      Partisipasi yang tinggi dari warga sekolah dan masyarakat
9.      Sekolah memiliki keterbukaan (transparansi manajemen)
10.  Sekolah memiliki kemauan untuk berubah (psikologis dan fisik)
11.  Sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan
12.  Sekolah responsif dan antisipasif terhadap kebutuhan
13.  Memiliki komunikasi yang sehat
14.  Sekolah memiliki akuntabilitas
15.  Manajemen lingkungan hidup
16.  Sekolah memiliki kemampuan menjaga kesinambungan
1. Academic achievement
2. Non academic achievement

Prinsip-Prinsip MBS

                Banyak ahli mempunyai pendapat mengenai prinsip-prinsip MBS namun disini penulis lebih memilih pendapat yang sejalan dengan karakteristik MBS yang di sampaikan depdiknas tersebut diatas agar  lebih mempunyai relevansi. Prinsip prinsip MBS ini di sampaikan oleh Prof. Slamet PH, MA, MEd, MA,MLHR, Ph.D dalam salah satu kuliahnya, prinsib MBS disampaikan sebagai berikut :
  1. Dalam rangka pemandirian sekolah harus ada kebijakan yang tegas dan jelas dari pusat dan daerah tentag pembagian kewenangan dan tanggung jawab antara dinas pendidikan kabupaten/kota dan sekolah;
  2. Kebijakan dan pengawasan pemerintah daerah harus mendukung pelaksanaan mbs dan tidak bertentangan dengannya khususnya dalam pengelolaan dana (catatan : MBS diberi keluwesan keluwesan dalam mengembangkan daya kreasi, inovasi dan eksperimentasi untuk menemukann kemungkinan-kemungkinan baru sehingga memerlukan keluwesan-keluwesan dalam pengelolaan dana, asal dapat dipertanggung jawabkan)
  3. Sekolah menata kembali struktur organisasinya agar sesuai dengan tuntutan MBS (otonomi, tatakelola yang baik) dan meredistribusi kewenangan, tanggung jawab, akuntabilitas dan abilitas:
  4. Tata kelola yang baik diterapkan disekolah (partisipasi, transparansi, akuntabilitas, penegakan hukum, keadilan, efektifitas, efisiensi, profesionalisme, demokrasi dsb)
  5. Sekolah melakukan koordinasi dan sinkronisasi unit-unit yang ada di sekolah dalam rangka membangun tim kerja yang kompak, cerdas, dinamis, harmonis dan lincah; 
  6.  Sekolah melakukan pengembangan kapasitas ( kemampuan dan kesanggupan) baik kebijakan, kelembagaan, maupun sumberdayanya (sumberdaya manusia dan sumberdaya selebihnya) melalui berbagai cara, misal : pelatihan, diskusi kelompok terfokus, dan lokakarya ;
  7. Kultur otonomis, demokratis, bertanggung jawab, berkomitment tinggi, dan respek terhadap orang lain/perbedaan  agar disosialisasikan dan diterapkan disekolah.
  8. Pengambilan resiko, kreatifitas, inovasi dan inisiasi/prakarsa (keberanian moral untuk melakukan hal-hal baru) ditumbuh kembangkan di sekolah;
  9. Sekolah menerapkan manajemen mutu total (berpusat pada pelanggan internal terutama siswa dan eksternal, perbaikan secara terus menerus dan pelibatan secara total unsur unsur sekolah); 
  10.  Kepemimpinan sekolah selalu membangun sekolah sebagai sistem dan menggerakkan warganya untuk membangun team work yang kompak, cerdas, dinamis, harmonis dan lincah serta saling terkait seperti layaknya orkestra, band atau gamelan:
Jika prinsip prinsip MBS ini dilaksanakan maka akan berbanding lurus dengan munculnya sebuah karakter dari sekolah pelaksananya. Hal tersebut dapat terjadi jika semua sektor mampu memberikan kontribusi positif terhadap tereujudnya MBS.
Pelaksanaan MBS ini tidak terlepas dari berbagai macam kendala dan rintangan dalam implementasinya, bahkan banyak juga pihak yang mempunyai pandangan skeptis terhadap konsep manajemen sekolah ini. Namun bagi penulis paper ini kami menanggapi dengan berlandaskan teori yang sudah ada.

PERMASALAHAN YANG MUNCUL

Berdasarkan penelitian dari Ai shoraku (2008) yang terbit di jurnal UNESCO tahun 2009 permasalahan dalam implementasi SBM di asia tenggara khususnya di indonesia dikarenakan perbedaan sumberdaya yang dimiliki oleh tiap daerah khususnya sekolah dalam pelaksanaan otoritasnya untuk mengelola sekolah tersebut, hal ini senada dengan pendapat dari sakurai dan ogawa yang menyatakan bahwa :
Another critique that is sceptical about SBM is that this reform will produce larger disparities in education within a country. Transferring responsibilities to each school and relying on its local community will widen the gap between the areas with more financial and human resources, and those with fewer resources. With limited financial and administrative support from their central government, schools in poorer and isolated areas will not be able to cope with the managerial and administrative workload (Sakurai and Ogawa 2007)

Kritik lain yang skeptis tentang MBS adalah bahwa reformasi ini akan menghasilkan perbedaan yang lebih besar dalam pendidikan di sebuah negara. Memindahkan tanggung jawab kepada setiap sekolah dan mengandalkan komunitas lokal akan memperlebar kesenjangan antara daerah dengan sumber daya keuangan dan manusia yang berlebih, dan mereka dengan lebih sedikit sumber daya. Dengan dukungan keuangan dan administrasi yang terbatas dari pemerintah pusat, sekolah di daerah miskin dan terisolasi tidak akan mampu mengatasi beban kerja manajerial dan administrasi (Sakurai dan Ogawa 2007).
Permasalahan lain yang muncul berdasarkan penelitian yang di lakukan oleh sumintono yang diangkat dalam journal UNESCO oleh Ai shoru adalah sebagai berikut :
The study by Sumintono (2007) in Lombok reveals the situation that principals tend to dominate the information on SBM, and other teachers are less knowledgeable about how and to what extent they can exercise the autonomy they are given. The teachers attend SBM training organised by the government, and they believe that SBM benefits the improvement of teaching and learning. They consider that the authority to formulate school plans and develop curricula should devolve to the school level. However, they lack practical skills and knowledge to exercise this authority on site. Furthermore, they are confused about the influx of new changes, and do not obtain information that is really practical and reliable (Sumintono 2007). Understanding SBM theory and practicing it on site are quite different matters.
 (Ai shoraku, 2008)

Penelitian oleh Sumintono (2007) di Lombok mengungkapkan bahwa situasi yang muncul adalah  kepala sekolah cenderung mendominasi informasi pada MBS, dan guru lainnya yang kurang memiliki pengetahuan tentang bagaimana dan sejauh mana mereka dapat melaksanakan otonomi mereka. Para guru mengikuti pelatihan MBS diselenggarakan oleh pemerintah, dan mereka percaya bahwa MBS mempunyai manfaat perbaikan dalam belajar dan mengajar. Mereka menganggap bahwa kewenangan untuk merumuskan rencana sekolah dan mengembangkan kurikulum harus berpindah ke tingkat sekolah. Namun, mereka tidak memiliki keterampilan praktis dan pengetahuan untuk menggunakan wewenang ini di tempat mereka berada. Selain itu, mereka bingung tentang adanya perubahan baru, dan tidak memperoleh informasi yang benar-benar praktis dan dapat diandalkan (Sumintono 2007). Memahami teori MBS dan berlatih di situs adalah hal yang sangat berbeda. Selain permasalahan tersebut sumintono juga mencatat bahwa ada permasalahan komunikasi antara komite sekolah dengan pihak yang ada di sekolah. Hasil penelitian itu diangkat dalam jurnal penelitian oleh Ai shoru sebagai berikut :
Sumintono (2007) also points out the lack of communication between ordinary teachers and school committees. School committees tend to communicate with principals, but often do not make enough, or frequent, contact with other teachers. Compared to principals, teachers attend committee meetings less frequently. Consequently, with them receiving less information, their teaching in the classroom remains unchanged, which does not provide much of a positive impact on the performance of students. (Ai shoru, 2008).


Sumintono (2007) juga menunjukkan kurangnya komunikasi antara guru dan komite sekolah. Komite sekolah cenderung berkomunikasi dengan kepala sekolah, tetapi sering tidak cukup, atau tidak sering, kontak dengan guru lainnya. Dibandingkan dengan kepala sekolah, guru menghadiri pertemuan komite lebih jarang. Akibatnya, mereka menerima informasi kurang, pengajaran mereka di dalam kelas tetap tidak berubah, yang tidak memberikan banyak dampak positif pada kinerja siswa.
Masalah yang berikutnya muncul adalah komunikasi pihak pemerintah daerah dan dinas pendidikan  dengan sekolah dimana keleluasaan sekolah untuk mengambil keputusan terampas oleh keputusan dan kebijakan yang di buat oleh pemerintah daerah. Sebuah penelitian telah diterbitkan di Journal of NTT studies  yang dilakukan Agustinus Bandur pada tahun  2008  menemukan berbagai macam permasalahan antara sekolah dengan pemerintah daerah setempat diwilayah Nusa Tenggara Timur.
Moreover, six teacher representatives complained about the intervention of District Education Department in terms of decision-making in selecting school text books. In connection with this case, a teacher representative commented: In practice, local government officials have taken over decision-making authority which is supposed to be made by the school. I refer particularly to how the school text books are dropped by the local education department, whereas the block grant for books has been allocated directly to the school bank account from the central government. I think this is still a problem” (Teacher representative, W05).

Dalam prakteknya, pejabat pemerintah daerah telah mengambil alih otoritas pengambilan keputusan yang seharusnya dilakukan oleh sekolah. Saya lihat khususnya bagaimana buku teks sekolah yang di drop oleh departemen pendidikan setempat, sedangkan blok grant untuk buku telah dialokasikan langsung ke rekening bank sekolah dari pemerintah pusat. Saya rasa ini masih masalah (Guru representatif, W05).
            Masalah masalah yang kami sadur dari journal tersebut adalah sebagian kecil saja dari masalah yang ada dilapangan dan sangat diperlukan penyelesaian untuk dapat segera melaksanakan manajemen berbasis sekolah yang seutuhnya dan mampu menghasilkan outcome yang bermutu untuk membangun masa depan bangsa Indonesia.

PEMBAHASAN

Desentralisasi pendidikan dan otonomi daerah

                Sebelum kita berbicara masalah sbm maka kita pahami terlebih dahulu bagaimana SBM ini muncul. SBM ini muncul bersama dengan adanya desentralisasi pendidikan sedangkan arti dari desentralisasi itu sendiri berarti " pemindahan perencanaan, pengambilan keputusan, atau kewenangan administratif dari pemerintah pusat kepada organisasi bidangnya, unit administratif lokal, semi otonom dan organisasi milik negara, pemerintah daerah, atau organisasi non pemerintah" (Rondinelli and Cheema 1983, p.18)  sedangkan undang undang no 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 7 memberikan pengertian  Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan pengertian  Otonomi Daerah  adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundangundangan. (UU no 22 tahun 1999) pengertian ini kemudian diperbaharui dalam undang undang no 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 5, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang undangan. Otonomi lebih cenderung pada produk berupa hak dan kewajiban, maka desentralisasi lebih cenderung pada prosesnya (dari pemerintahan yang sentralistik ke desentralistik).(Prof Slamet , PH)
            Sehubungan dengan desentralisasi dan otonomi maka dalam bidang pendidikan akhirnya tercipta tujuan desentralisasi pendidikan yaitu untuk meningkatkan mutu layanan dan kinerja pendidikan. Penyelenggaraan desentralisasi pendidikan dari pusat langsung ke sekolah ini dalam bentuk MBS, hal ini sejalan dengan pengertian yang di sampaikan oleh worldbank pada tahun 2007 yang mengatakan bahwaThe decentralisation of authority from the central government to schools is popularly known as SBM. SBM is the transfer of decision-making and/or authority over school governance from the government to the school level (World Bank 2007). Dari pengertian pengertian tersebut diatas maka tentu akan muncul kelebihan dan kekurangan untuk menjawab berbagai macam permasalahan yang muncul mengiringi implementasi SBM di sekolah.

Dampak Positif  dan kelemahan  implementasi SBM dalam menjawab permasalahan yang muncul


                Sebuah program tentu memiliki kekurangan ataupun kelebihan baik dalam konsep maupun implementasinya.  Salah satu kelemahan dari SBM menurut King and Guerra 2005; Nabeshima 2003 bahwa  dalam penerapan dan konsepnya, SBM muncul lebih banyak karena permasalahan politik dan fiskal dari pada konsep kependidikan dan hal ini kebanyakan terjadi di asia tenggara ini terbukti dengan adanya krisis moneter pada tahun 1997 selama kurang lebih 5 tahun pemerintah pusat  benar benar terbebani oleh masalah finansial sehingga harus memotong budget negara dalam jumlah yang besar maka untuk dapat terus menjalankan urusan kependdidikan maka di terapkanlah desentralisasi sehingga banyak urusan pusat yang dilimpahkan ke pemerintah daerah agar beban negara terbagi ke daerah, termasuk urusan pendidikan. Selain hal itu karena terlalu cepatnya program ini dijalankan berdasarkan keputusan politis dan fiskal maka pemegang tanggung jawab atau otoritas yang baru yaitu sekolah khususnya guru dan partnernya dalam dunia pendidikan belum mempunyai pengalaman dan kompetensi yang memadai untuk menjamin mutu pendidikan meningkat menjadi lebih baik. Kasus ini terjadi tidak hanya di indonesia saja namun juga terjadi pada beberapa negara asia tenggara lainnya. 

Selain dari  manfaat tersebut diatas maka dengan adanya MBS terjadi pergeseran pendekatan dalam manajemen pendidikan. Pergeseran tersebut diindentifikasi sebagai berikut
MANAJEMEN BERBASIS PUSAT
MENUJU
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
Sub ordinasi
Otonomi
Pengambilan keputusan terpusat
Pengambilan keputusan partisipatif
Ruang gerak kaku
Ruang gerak luwes
Pendekatan birokratik
Pendekatan profesionalisme
Sentralistik
Desentralistik
Diatur
Motivasi diri
Overregulasi
              
Deregulasi
Mengontrol
Mempengaruhi
Mengarahkan
Memfasilitasi
Menghindari resiko
Mengolah resiko
Gunakan uang semuanya
Gunakan seefisien mungkin
Individu cerdas
Teamwork kompak dan cerdas
Informasi terpribadi
Informasi terbagi
Pendelegasian
Pemberdayaan
Organisasi hierarkis
Organisasi datar
Sumber : Slamet PH, 2000
Permasalahan yang muncul dengan adanya perbedaan sumberdaya manusia maupun sumberdaya lokal yang lain memang sebuah isu permasalahan yang cukup pelik bagi indonesia. Munculnya permasalahan ini memang sudah dapat diperkirakan karena indonesia adalah negara dengan letak geografis yang cukup besar dan beragam. Kasus yang sama pun pernah terjadi di china dengan adanya desentralisasi maka terdapat kesenjangan antara daerah satu dengan yang lain contoh paling menonjol adalah pada tahun 1999 beijing dan shanghai tingkat melek huruf dan keikut sertaan peserta didik lebih dari 90 % sedangkan di tibet pada tahun yang sama kurang dari 35 %. Ini menunjukkan bahwa negara besar dengan jumlah penduduk besar juga memiliki permasalahan geografis dalam peningkatan mutu layanan pendidikan. Hal ini dikarenakan kesiapan daerah dalam melaksanakan desentralisasi mempunyai sumberdaya manusia dan sumberdaya lain yang berbeda.
Permasalahan geografis ini diharapkan dapat teratasi jika pemerintah juga memberikan perhatian kepada sekolah yang memiliki latar belakang atau background sumber daya yang berbeda. Di indonesia sendiri sudah ada langkah dari pemerintah untuk memperhatikan hal itu, ini terbukti dengan adanya program wajib belajar 9 tahun dan diikuti dengan penentuan standar nasional pendidikan. Dengan adanya ketentuan tersebut pemerintahpun memberikan dana bantuan BOS kepada sekolah tingkat dasar dan BOMM pada SMA dan SMK agar dapat melaksanakan standar pelayanan minimal atau SPM.
Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi kesenjangan sumberdaya yang terjadi antar daerah dimana daerah yang mempunyai sumberdaya yang baik mampu menjalankan sekolah berstandar nasional dan internasional. Sedangkan untuk sektor pemerintahan daerah juga perlu diberikan pemahaman yang menyeluruh dalam pelaksanaan manajemen berbasis sekolah sehingga terjadi keselarasan dalam pengambilan keputusan dalam dunia pendidikan.

Ada beberapa langkah strategis yang dapat diterapkan dalam MBS, sebagaimana dijelaskan Oswald (1995), Kubick (1988), Wohlstetter dan Mohram (1993) dan Peterson, yaitu:
1.  Sekolah harus memiliki otonomi terhadap empat hal yaitu kekuasaan dan kewenangan, pengembangan pengetahuan yang berkesinambungan, akses informasi ke segala bagian dan memberikan penghargaan terhadap setiap orang yang berhasil.
2.  Adanya peran serta masyarakat secara aktif dalam hal pembiayaan, proses pengambilan keputusan terhadap kurikulum  dan instruksional serta non-instruksional.
3.   Adanya kepemimpinan kepala sekolah yang mampu menggerakkan dan mendayagunakan setiap sumber daya sekolah secara efektif.
4.      Adanya proses pengambilan keputusan yang demokratis dalam dewan sekolah yang aktif
5.      semua pihak harus memahami peran dan tanggung jawabnya secara sungguh-sungguh.
6.      Adanya guidelines dari departemen terkait sehingga dapat mendorong proses pendidikan di sekolah secara efisien dan efektif.
7.  Sekolah harus memiliki transparansi dan akuntabilitas yang minimal diwujudkan dalam laporan pertanggungjawaban.
8.  Penerapan MBS harus diarahkan untuk pencapaian kinerja sekolah dan meningkatkan pencapaian belajar siswa.
9.    Hendaknya mengawali dengan sosialisasi dari konsep MBS, identifikasi peran masing-masing, mengadakan pelatihan terhadap peran baru, dan impelementasi pada proses pembelajaran, evaluasi dan melakukan perbaikan.
Dengan menerapakan langkah strategis yang ada maka diharapkan MBS dapat di laksanakan dengan baik oleh semua pihak dan mendapatkan dukungan yang sangat diperlukan agar peningkatan mutu pendidikan dapat di capai.

PENUTUP

           
            Masih terlalu dini untuk dapat mengatakan bahwa MBS ini berhasil atau gagal dalam perbaikan dunia pendidikan di indonesia, namun yang menjadi catatan adalah perbaikan dalam kebijakan dan infrastruktur terus dilakukan agar dapat tercipta suatu  sistem pendidikan yang mampu memberikan layanan seutuhnya pada masyarakat dalam rangka tercapainya cita cita sesuai dengan undang undang dasar 1945.
            Penelitian perlu dilakukan secara terus menerus agar dapat diperoleh sebuah data empirik yang bisa menjadi pedoman pemerintah dan semua pihak yang berkecimpung di dunia pendidikan dalam perbaikan mutu layanan. Perlu juga menjadi catatan bahwa dunia pendidikan harus di jauhkan dari pengaruh politik praktis yang tentu saja hal itu akan berpengaruh dalam semangat pembangunan suatu mutu pendidikan di indonesia.
 
DAFTAR PUSTAKA

Bandur, A. (2009). the implementation of school based management in indonesia : creating conflict in regional level. Journal of NTT studies , 23.
Kemendiknas. (2011). Manajemen Berbasis Sekolah di SMP pada Era Otonomi Daerah. Jakarta: Direktorat pembinaan SMP, dirjen Pendidikan dasar, Kementrian Pendidikan Nasional.
Shoraku, A. (2009). Educational movement Toward School based management in East asia : cambodia, indonesia and thailand. UNESCO , 1-35.