WELLCOME

SELAMAT DATANG DI BLOG YANG MENCOBA UNTUK SHARING TENTANG INFORMASI APA SAJA.

Rabu, 27 Maret 2013

PENILAIAN KINERJA BIMBINGAN KONSELING DENGAN MODEL 360 DERAJAT




Proses penilaian kinerja dalam sebuah organisasi adalah suatu hal untuk mengetahui apakah anggota organisasi itu mampu melaksanakan kegiatan kegiatan yang direncanakan dalam sebuah program. Hal itu perlu dilakukan karena suatu organisasi akan sangat sulit untuk berjalan dan berkembang tanpa adanya kinerja yang baik dari seluruh anggotanya. Telah banyak model penilain kinerja yang muncul baik di sektor bisnis maupun di sektor publik. Namun dari yang telah ada sektor bisnis lebih banyak mengalami perkembangan dari pada sektor publik. Hal ini terkait dengan budaya yang ada di organisasi atau instansi tersebut. Kita ketahui bahwa di sektor bisnis telah muncul metode untuk mereview kinerja karyawannya diataranya adalah penilaian 360 derajad, balance score card dan masih banyak yang lain. Penerapan dan implementasinyapun terlihat lebih efektif dan efisien, hal ini tidak lepas dengan budaya yang ada di sektor bisnis lebih fleksibel, dinamis dan cenderung menyesuaikan keadaan yang memungkinkan.
Kemudian bagaimana dengan sektor publik? dengan adanya kebudayaan organisasi yang kaku maka hal ini sangat berpengaruh terhadap model pelaksanaan penilaian kinerja yang ada. Tidak jarang proses penilaian ini akhirnya berujung pada menurunnya validitas scoring pada penilaian kinerja pegawai. Sebagai contoh konkrit adalah dengan adanya DP3 yang masih menyisakan banyak pekerjaan rumah dalam implementasinya. Hal ini karena indikator indikator yang ada sanngat sulit untuk dinilai misalnya saja kejujuran kesetiaan , bagaimana hal tersebut dapat dinilai secara kuantitatif. Bahkan jika di kuantitatifkan apakah hal itu juga mampu merepresentasikan keadaan yang sebenarnya?
Permasalahan lain yang timbul mengenai DP3 ini adalah keadaan dilapangan sangat sering kita temui kasus nilai DP3 seorang bawahan tidak boleh melebihi nilai DP3 atasan. Kita bisa bayangkan bagaimana efek psikologis terhadap model penilaian semacam itu. Tentu yang terjadi adalah manipulasi score, berlandaskan budaya kepatutan, tidak memotivasi dan bahkan tidak bisa memberikan kontribusi yang nyata terhadap perbaikan kinerja suatu instansi publik. model penilaian disektor publik inipun masih kental dengan budaya top down (atasan yang menilai bawahan), atasan yang berhak menentukan standar standar ketercapaian suatu kinerja. Pada prinsipnya hal itu tidak menjadi masalah namun yang menjadi permasalahan adalah bagaimana jika kinerja bawahan dituntut untuk dapat bagus namun atasan sendiri tidak dapat memenuhinya sedangkan dengan adanya budaya top down itu bawahan tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan feedback terhadap apa yang dilakukan oleh atasan. Tentu saja hal itu sangat berbahaya terhadap organisasi, pasti akan sangat sulit menemukan antara bawahan dan atasan dalam satu frekwensi dalam bekerja.
Berdasarkan pandangan pandangan dan kenyataan dilapangan itu maka dalam paper ini penulis ingin mencoba menelaah kemungkinan pengadopsian konsep penilaian kinerja dari sektor bisnis ke sektor publik. Penulis akan mencoba mengimplementasikan konsep ini pada entitas sekolah, lebih mengkhususnya pada bimbingan konseling. hal ini penulis lakukan karena bidang bimbingan konseling telah menjadi sorotan dari berbagai pihak baik teman sejawat maupun pihak luar dalam hal performa dalam bekerja. Stereotipe yang ada adalah bahwa guru bimbingan konseling terlihat tidak ada pekerjaan dan hanya menganggur dan menerima gaji buta. Hal ini mengusik penulis karena penulis sendiri adalah guru bimbingan konseling dan selalu berusaha untuk dapat menunjukkan kinerja yang baik. Namun yang menjadi permasalahan adalah bagaimana cara penulis menngetahui bahwa telah bekerja dengan baik? Di dalam paper inilah penulis mencoba untuk membahasnya dan semoga tulisan ini berguna untuk memahami diri atau mengintrospeksi diri khususnya bagi penulis dan umumnya bagi guru bimbingan konseling yang lain.

Konsep Performance Management


Konsep penilaian kinerja atau dalam bahasa universalnya performance appraisal muncul tidak lepas dari adanya konsep performance management. Sedangkan performance manajemen sendiri mempunyai arti  :
Performance management can be defined as a systematic process for improving organizational performance by developing the performance of individual and teams. Itis a mean of getting better result from the organization, team and individual by understanding and managing performance within an agreed framework of planned golas, standarts and competence requairement.(Michael armstrong,2006)
Performance management dapat didefinisikan sebagai proses sistematis untuk meningkatkan kinerja organisasi dengan mengembangkan kinerja individu dan tim. Ini berarti bagaimana mendapatkan hasil rata-rata yang lebih baik dari tim, organisasi dan individu dengan memahami dan mengelola kinerja dalam kerangka rencana tujuan yang disepakati, standarts dan kebutuhan  akan kompetensi. (Michael Armstrong, 2006)
Menurut definisinya, manajemen kinerja adalah suatu proses strategis dan terpadu yang menunjang keberhasilan organisasi melalui pengembangan performansi SDM. Dalam manajemen kinerja kemampuan SDM sebagai kontributor individu dan bagian dari kelompok dikembangkan melalui proses bersama antara manajer dan individu yang lebih berdasarkan kesepakatan daripada instruksi. Kesepakatan ini meliputi tujuan (objectives), persyaratan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan, serta pengembangan kinerja dan perencanaan pengembangan pribadi.
Manajemen kinerja bertujuan untuk dapat memperkuat budaya yang berorientasi pada kinerja melalui pengembangan keterampilan, kemampuan dan potensi-potensi yang dimiliki oleh SDM. Sifatnya yang interaktif ini akan meningkatkan motivasi dan memberdayakan SDM dan membentuk suatu kerangka kerja dalam pengembangan kinerja. Manajemen kinerja juga dapat menggalang partisipasi aktif setiap anggota organisasi untuk mencapai sasaran organisasi melalui penjabaran sasaran individu maupun kelompok sekaligus mengembangkan protensinya agar dapat mencapai sasarannya itu. Berdasarkan tugasnya ini, manajemen kinerja dapat dijadikan landasan bagi promosi, mutasi dan evaluasi, sekaligus penentuan kompensasi dan penyusunan program pelatihan. Manajemen kinerja juga dapat dijadikan umpan balik untuk pengembangan karier dan pengembangan pribadi SDM.
Performance management ini sendiri menurut (Michael Armstrong, 2006) mempunyai perhatian khusus terhadap 8 hal yaitu :
  1. Concern with outputs, outcomes, process and input.( Kepedulian dengan output, hasil, proses dan masukan.)
  2. Concern with planning (Kepedulian dengan perencanaan)
  3. Concern with measurement and review (Kepedulian dengan pengukuran dan review)
  4. Concern continuaous improvement (Kepedulian terus menerus perbaikan)
  5. Concern with continuous development (Berkaitan erat dengan pembangunan berkelanjutan)
  6. Concern for communicaton (Kepedulian untuk komunikasi)
  7. Concern for Stakeholder (Kepedulian terhadap Stakeholder)
  8. Concern for fairness and tranparency (Kepedulian terhadap keadilan dan Transparansi)
Performance management dapat juga merupakan sebuah proses yang terus berkelanjutan dari berbagai kegiatan dalam sebuah organisasi atau entitas. Siklus ini bergerak dengan dasar continuous improvement atau pengembangan yang berkelanjutan.

Prinsip Dasar Penerapan performance management
Permormance management yang baik untuk menuju organisasi berkinerja tinggi, harus mengikuti kaidah-kaidah berikut ini.
Terdapat suatu indikator kinerja (key performance indicator)
Indikator ini harus  terukur secara kuantitatif, serta jelas batas waktu untuk mencapainya dalam menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi oleh organisasi tersebut sehingga nanti pada saat evaluasi kita bisa mengetahui, apakah kinerja sudah mencapai target atau belum.  Jika pada organisasi bisnis atau komersial, maka indikator kinerjanya adalah berbagai aspek finansial seperti laba, pertumbuhan penjualan, lalu indikator pemasaran seperti jumlah pelanggan, dan sebagainya. Michael Porter, seorang profesor dari Harvard Business School mengungkapkan bahwa kita tidak bisa memanajemeni sesuatu yang tidak dapat kita ukur. Jadi, ukuran kuantitatif itu penting. Organisasi yang tidak memiliki indikator kinerja, biasanya tidak bisa diharapkan mampu mencapai kinerja yang memuaskan para pihak yang berkepentingan (stakeholders).
Adanya kontrak kinerja (performance contract)
Semua ukuran kinerja tersebut biasanya dituangkan ke dalam suatu bentuk kesepakatan antara atasan dan bawahan yang sering disebut kontrak kinerja.  Dengan adanya kontrak kinerja, maka atasan bisa menilai apakah si bawahan sudah mencapai kinerja yang diinginkan atau belum. Kontrak kinerja ini berisikan suatu kesepakatan antara atasan dan bawahan mengenai indikator kinerja yang ingin dicapai, baik sasaran pancapaiannya maupun jangka waktu pencapaiannya. Ada 2 (dua) hal yang perlu dicantumkan dalam kontrak kinerja, yaitu sasaran akhir yang ingin dicapai (lag) serta program kerja untuk mencapainya (lead). Dua haal ini bertujuan agar  pada saat evaluasi nanti berbagai pihak bisa bersikap fair, tidak melihat hasil akhir semata, melainkan juga proses kerjanya. Adakalanya seorang bawahan belum mencapai semua hasil akhir yang ditargetkan, tetapi dia sudah melaksanakan semua program kerja yang sudah digariskan. Tentu saja atasan tetap harus memberikan reward untuk dedikasinya, walaupun sasaran akhir belum tercapai. Ini juga bisa menjadi basis untuk perbaikan di masa yang akan datang (continuous improvements).
Terdapat suatu proses siklus manajemen kinerja
Proses ini haruslah yang baku dan dipatuhi untuk dikerjakan bersama, yaitu perencanaan kinerja berupa penetapan indikator kinerja, lengkap dengan berbagai strategi dan program kerja yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang diinginkan, Pelaksanaan, di mana organisasi bergerak sesuai dengan rencana yang telah dibuat, jika ada perubahan akibat adanya perkembangan baru, maka lakukanlah perubahan tersebut, dan terakhir evaluasi kinerja, yaitu menganalisis apakah realisasi kinerja sesuai dengan rencana yang sudah ditetapkan dulu ? Semuanya harus serba kuantitatif.
Adanya suatu sistem reward dan punishment
           Sistem ini bersifat konstruktif dan konsisten dijalankan. Konsep reward ini tidak selalu bersifat finansial, melainkan juga dalam bentuk lain, seperti promosi, kesempatan pendidikan, dan sebagainya. Reward dan punishment diberikan setelah melihat hasil realisasi kinerja, apakah sesuai dengan indikator kinerja yang telah direncanakan atau belum. Tentu saja ada suatu performance appraisal atau penilaian kinerja terlebih dahulu sebelum reward dan punishment diberikan. Hati-hati dengan pemberian punishment, karena dalam banyak hal, pembinaan jauh lebih bermanfaat.
Terdapat suatu mekanisme performance appraisal atau penilaian kinerja yang relatif obyektif
          Konsep yang sangat terkenal adalah penilaian 360 derajat, di mana penilaian kinerja dilakukan oleh atasan, rekan sekerja, pengguna jasa, serta bawahan. Pada prinsipnya manusia itu berpikir secara subyektif, tetapi berpikir bersama mampu mengubah sikap subyektif itu menjadi sangat mendekati obyektif. Dengan demikian, ternyata berpikir bersama jauh lebih obyektif daripada berpikir sendiri-sendiri. Ini adalah semangat yang ingin dibawa oleh konsep penilaian 360 derajat. Walaupun banyak kritik yang diberikan terhadap konsep ini, tetapi cukup banyak yang menggunakannya di berbagai organisasi.
Terdapat suatu gaya kepemimpinan (leadership style) yang mengarah kepada pembentukan organisasi berkinerja tinggi.
Inti dari kepemimpinan seperti ini adalah adanya suatu proses coaching, counseling, dan empowerment kepada para bawahan atau sumber daya manusia di dalam organisasi. Satu aspek lain yang sangat penting dalam gaya kepemimpinan adalah, sikap followership, atau menjadi pengikut. Bayangkan jika semua orang menjadi komandan di dalam organisasi, lantas siapakah yang menjadi pelaksana ? Bukannya kinerja tinggi yang muncul, melainkan kekacauan di dalam organsiasi (chaos). Sejatinya, pada kondisi tertentu seseorang harus memiliki jiwa kepemimpinan, tetapi pada situasi yang lain, dia juga harus memahami bahwa dia juga merupakan bagian dari sebuah sistem organisasi yang lebih besar, yang harus dia ikuti.
Menerapkan konsep manajemen SDM berbasis kompetensi.
Umumnya organisasi berkinerja tinggi memiliki kamus kompetensi dan menerapkan kompetensi tersebut kepada hal-hal penting, seperti manajemen kinerja, rekruitmen dan seleksi, pendidikan dan pengembangan, dan promosi. Seperti yang diuraikan pada awal makalah ini, kompetensi tersebut setidaknya mencakup 3 (tiga) hal, yaitu kompetensi inti organsiasi, kompetensi perilaku, serta kompetensi teknikal yang spesifik terhadap pekerjaan. Jika kompetensi ini sudah dibakukan di dalam organisasi, maka kegiatan manajemen SDM akan menjadi lebih transparan, dan pimpinan organisasi juga dengan mudah mengetahui kompetensi apa saja yang perlu diperbaiki untuk membawa organisasi menjadi berkinerja tinggi.

KONSEP PENILAIAN KINERJA 

(PERFORMANCE APPRAISAL)






Definisi  performance appraisal atau penilaian kinerja adalah
A performance appraisal (PA) or performance evaluation is a systematic and periodic process that assesses an individual employee’s job performance and productivity in relation to certain pre-established criteria and organizational objectives (wikipedia, 2012)
Sebuah penilaian kinerja (PA) atau penilaian kinerja  adalah proses sistematis dan berkala yang menilai prestasi kerja karyawan individu dan produktivitas dalam kaitannya dengan tertentu yang ditetapkan sebelumnya kriteria dan tujuan organisasi (Wikipedia 2012)
Ada stereotipe yang mengatakan bahwa performance management sama dengan performance appraisal namun sesungguhnya dua hal tersebut adalah dua konsep yang berbeda walau saling berkaitan dlam artian dalam performance management bisa jadi di dalamnya ada proses performnace appraisal. Satu hal yang membedakan adalah performnace management lebih berkelanjutan, lebih luas dan lebih komprehensif  serta merupakan proses manajemen yang alamiah yang mengklarifikasi harapan utama, dan menegaskan bagaimana manajer yang diharapkan mampu menjadi seorang pelatih atau pembimbing dari pada hakim mengenai rencana di masa yang akan datang. Perbedaan itu sendiri lebih jelas di sampaikan michael armstrong sebagai berikut :
PERFORMANCE APPRAISAL
PERFORMANCE MANAGEMENT
  1.   Top down assessment
  2.   Annual appraisal meeting
  3.   Use of rating
  4.   Focus on quantified objectives
  5.   Often linked to pay
  6.   Bureaucratic- complex paperwork
  7.   Own by the HR development

  1.   Joint process through dialogue
  2.   Continuous review
  3.   Rating less common
  4.   Flexible process
  5.   Focus on values and behavior as well as objectives
  6.   Less likely to be a direct link to pay
  7.   Documentation kept to minimum  Owned by line managers


Dari pengertian performance appraisal atau penilaian kinerja tersebut dapat kita ketahui bahwa penilaian kinerja bersifat top down dan secara obyektif kuantitatif dalam implementasinya. Penilaian kinerja biasanya dilakukan atasan untuk menilai bawahannya, apakah kinerja sesuai dengan yang diharapkan. Kedua konsep ini selalu berjalan berdampingan dan saling mendukung hal ini seperti yang diutarakan oleh Elaine D pulakos ,P.Hd yang menyatakan bahwa :
When a performance management system is used for decision-making, the appraisal information is used as a basis for pay increases, promotions, transfers, assignments, reductions in force or other administrative HR actions. When a performance management system is used for development, the appraisal information is used to guide the training, job experiences, mentoring and other developmental activities that employees will engage in to develop their capabilities.(Elaine D pulakos,2004 )
Ketika sistem manajemen kinerja digunakan untuk pengambilan keputusan, informasi penilaian digunakan sebagai dasar untuk kenaikan gaji, promosi, transfer, tugas, penurunan paksaan atau tindakan lain oleh administratif bidang SDM. Ketika sebuah sistem manajemen kinerja yang digunakan untuk pengembangan, informasi penilaian digunakan untuk memandu pelatihan, pengalaman kerja, mentoring dan kegiatan pembangunan lainnya bahwa karyawan akan terlibat dalam mengembangkan kemampuan mereka. (Elaine D pulakos, 2004)       
Kemudian dengan berkembangnya paradigma appraisal kemudian muncul sebuah gagasan bagaimana jika kita menginginkan untuk mengevaluasi diri dan mendapatkan masukan dari berbagai pihak sehingga kita benar benar mendapatkan sebuah temuan obyektif yang bisa menjadi pedoman kita untuk memperbaiki diri? Maka munculah sebuah konsep penilaian 360 derajat yang dapat diimplementasikan dalam sebuah organisasi sektor bisnis.



Konsep penilaian kinerja 360 derajad

 

 


Pendekatan penilaian kinerja 360 derajat merupakan bentuk pendekatan yang diharapkan dapat mengurangi bias dan subjektivitas dari penilaian kinerja dengan pendekatan atas-bawah. Secara definisi penilaian kinerja 360 derajat dapat diartikan sebagai proses yang melibatkan kegiatan pengumpulan data-data perihal persepsi atas perilaku seseorang atau individu serta dampak perilaku tersebut kepada atasan (boss), kolega (peers), bawahan dan anggota-anggota lain dalam suatu tim (Karmawijaya, 2007).
Ada empat elemen yang mendasari sistem penilaian kinerja 360 derajat :
  1. Penilaian ke atas (upward appraisal) : Penilaian yang dilakukan bawahan terhadap hasil dan pencapaian atasannya.
  2. Penilaian mengarah ke bawah (downward appraisal) : Format penilaian tradisional di mana atasan menilai bawahan.
  3. Penilaian setara (peer appraisal) : Penilaian yang diberikan kepada seorang karyawan oleh rekan sekerjanya.
  4. Penilaian oleh diri sendiri (self appraisal) : Penilaian yang diberikan oleh pribadi tiap karyawan mengenai hasil pencapaiannya sekarang dan rencana jangka panjang

Keuntungan Dan Kerugian 360 Derajat

Berdasarkan kuliah yang saya ikuti di kelas diknas MMUGM penilaian 360 derajat ini memiliki keuntungan dan memiliki kelemahan yaitu :
Keuntungan
  • Individu lebih menyadari kompetensi yang relevan dgn bidang tugasnya
  • Umpan balik yang lebih dapat dipercaya
  • Lebih menjelaskan kriteria kinerja yang dinilai
  • Menyadarkan atasan akan pengaruh dirinya terhadap orang lain
  • Lebih fokus pada isu-isu pengembangan karyawan
Kerugian
  • Orang cenderung  kurang terbuka dalam memberikan umpan balik
  • Orang cenderung merasa tertekan baik yang menerima dan memberikan  umpan  balik
  • Kurangnya  kegiatan  lanjut  setelah  diberikan  umpan  balik
  • Ada pengaruh  birokrasi

Berbeda dengan penilaian konvensional, metode penilaian 3600 mengusung mekanisme dimana kinerja seorang karyawan dinilai berdasarkan umpan balik dari setiap orang yang memiliki hubungan kerja dengannya atasan, rekan kerja, mitra, anak buah, pelanggan. Pendek kata, metode ini mencoba mengumpulkan masukan dari berbagai narasumber di lingkungan kerja karyawan.
Dalam implementasinya, kalau pada metode konvensional para atasan menemui anak buah mereka satu per satu untuk mendiskusikan penilaian kinerja yang mereka berikan, pada metode penilaian 3600 mereka bertemu dengan anak buah mereka untuk membahas umpan balik yang mereka terima dari banyak pihak. Tentu saja, pihak-pihak yang dimintai masukan ini terbatas pada orang-orang yang diyakini mampu menggambarkan kinerja si karyawan.
Dengan mendapatkan umpan balik 3600, karyawan akan terbantu untuk menilai diri mereka sebagaimana orang-orang di sekitar mereka melihat mereka. Umpan balik itu bisa mengungkapkan area-area dimana si karyawan sudah menunjukkan kinerja yang sangat bagus dan area-area dimana mereka masih perlu meningkatkan diri. Yang menarik, informasi ini bisa mencakup sejumlah aspek yang tidak disadari baik oleh si karyawan sendiri maupun oleh atasan mereka.
Idealnya, karyawan akan memersepsi metode penilaian 3600 sebagai metode yang lebih fair dan akurat. Mereka akan merasa lebih nyaman dinilai dari berbagai sudut oleh berbagai pihak, dan bukan hanya oleh atasan langsung maupun tak langsung yang dianggap memiliki pengetahuan terbatas mengenai apa yang telah mereka lakukan. Di sisi lain, para manajer juga akan melihat metode ini sebagai metode yang lebih objektif dan akurat. Mereka bisa mendapatkan umpan balik yang tidak bias dari sumber-sumber anonim yang mengetahui kinerja anak buah mereka, dan dengan demikian mereka juga bisa terbebas dari tuduhan melakukan favoritisme.



KONSEP BIMBINGAN KONSELING


Untuk memperoleh pengertian yang jelas tentang “bimbingan”, berikut dikutipkan pengertian bimbingan (guidance) menurut beberapa sumber. Year Book of Education (1955) menyatakan bahwa: guidance is a process of helping individual through their own ffort to discover  develop their potentialisties both for personal happiness and social usefulness.
Definisi yang diungkapkan oleh Miller (dalam Jones, 1987) nampaknya merupakan definisi yang lebih mengarah pada pelaksanaan bimbingan di sekolah. Definisi tersebut menjelaskan bahwa: “Bimbingan adalah proses bantuan terhadap individu untuk mencapai pemahan diri dan pengarahan diri yang dibutuhkan untuk melakukan penyesuaian diri secara maksimum kepada sekolah, keluarga, serta masyarakat”.
Rogers (dalam Kusmintardjo, 1992) memberikan pengertian konseling sebagai berikut: Counseling is a series of direct contats with the individual which aims to offer him assistance in changing his attitude and behavior. Konseling adalah serangkaian kontak atau hubungan bantuan langsung dengan individu dengan tujuan memberikan bantuan kepadanya dalam merubah sikap dan tingkah lakunya).
Selanjutnya Mortensen (dalam Jones, 1987) memberikan pengertian konseling sebagai berikut: Counseling may, therefore, be defined as a person to person process in which one person is helped by another to increase in understanding and ability to meet his problems”. Konseling dapat didefinisikan sebagai suatu proses hubungan seseorang dengan seseorang di mana yang seorang dibantu oleh yang lainya untuk menemukan masalahnya.
Dengan demikian jelaslah, bahwa konseling merupakan salah satu teknik pelayanan bimbingan secara keseluruhan, yaitu dengan cara memberikan bantuan secara individual (face to face relationship). Bimbingan tanpa konseling ibarat pendidikan tanpa pengajaran atau perawatan tanpa pengobatan. Kalaupun ada perbedaan di antara keduanya hanyalah terletak pada tingkatannya.

Bidang kegiatan bimbingan dan konseling


Ranah Tugas guru bimbingan dan konseling/konselor yang dapat diketahui untuk pelaksanaannya yaitu membantu peserta didik dalam:
  1. Pengembangan kehidupan pribadi, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami, menilai bakat dan minat.
  2. Pengembangan kehidupan sosial, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai serta mengembangkan kemampuan hubungan sosial dan industrial yang harmonis, dinamis, berkeadilan dan bermartabat.
  3. Pengembangan kemampuan belajar, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik mengembangkan kemampuan belajar untuk mengikuti pendidikan sekolah/madrasah secara mandiri.
  4. Pengembangan karir, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai informasi, serta memilih dan mengambil keputusan karir.

Jenis layanan Bimbingan konseling
  1.  Layanan orientasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik memahami lingkungan baru, terutama lingkungan sekolah/ madrasah dan obyek-obyek yang dipelajari, untuk menyesuaikan diri serta mempermudah dan memperlancar peran peserta didik di lingkungan yang baru.
  2. Layanan informasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik menerima dan memahami berbagai informasi diri, sosial, belajar, karir/jabatan, dan pendidikan lanjutan.
  3.  Layanan penempatan dan penyaluran, yaitu layanan yang membantu peserta didik memperoleh penempatan dan penyaluran yang tepat di dalam kelas, kelompok belajar, jurusan/program studi, program latihan, magang, dan kegiatan ekstra kurikuler.
  4. Layanan penguasaan konten, yaitu layanan yang membantu peserta didik menguasai konten tertentu, terutama kompetensi dan atau kebiasaan yang berguna dalam kehidupan di sekolah/madrasah, keluarga, industri dan masyarakat.
  5. Layanan konseling perorangan, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam mengentaskan masalah pribadinya. (khusus untuk layanan ini sangat diperlukan kesepakatan kesepakatan khusus antara siswa sebagai klien, guru bimbingan dan konseling serta pengawas).
  6. Layanan bimbingan kelompok, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam pengembangan pribadi, kemampuan hubungan sosial, kegiatan belajar, karir/jabatan, dan pengambilan keputusan, serta melakukan kegiatan tertentu melalui dinamika kelompok.
  7. Layanan konseling kelompok, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam pembahasan dan pengentasan masalah pribadi melalui dinamika kelompok.
  8. Layanan konsultasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik dan atau pihak lain dalam memperoleh wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang perlu dilaksanakan dalam menangani kondisi dan atau masalah peserta didik
  9. Layanan mediasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik menyelesaikan permasalahan dan memperbaiki hubungan antar mereka.



Kegiatan-kegiatan pendukung bimbingan konseling:


  1. Aplikasi instrumentasi, yaitu kegiatan mengumpulkan data tentang diri peserta didik dan lingkungannya, melalui aplikasi berbagai instrumen, baik tes maupun nontes.
  2. Himpunan data, yaitu kegiatan menghimpun data yang relevan dengan pengembangan peserta didik, yang diselenggarakan secara berkelanjutan, sistematis, komprehensif, terpadu dan bersifat rahasia.
  3. Konferensi kasus, yaitu kegiatan membahas permasalahan peserta didik dalam pertemuan khusus yang dihadiri oleh pihak-pihak yang dapat memberikan data, kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya masalah peserta didik, yang bersifat terbatas dan tertutup.
  4. Kunjungan rumah, yaitu kegiatan memperoleh data, kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya masalah peserta didik melalui pertemuan dengan orang tua atau keluarganya.
  5. Tampilan kepustakaan, yaitu kegiatan menyediakan berbagai bahan pustaka yang dapat digunakan peserta didik dalam pengembangan pribadi, kemampuan sosial, kegiatan belajar, dan karir/jabatan.
  6. Alih tangan kasus, yaitu kegiatan untuk memindahkan penanganan masalah peserta didik ke pihak lain sesuai keahlian dan kewenangannya.



Implementasi konsep  360 derajat di Bimbingan Konseling


Pendekatan penilaian kinerja 360 derajat merupakan metode penilaian yang mengedepankan kualitas hasil penilaian dengan meminimalisir terjadinya subyektifitas penilaian dengan cara melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan dalam proses penilaian tersebut. Untuk itu dalam aplikasinya dalam dunia pendidikan terutama bimbingan konseling, ada beberapa pihak yang bertindak sebagai penilai dalam sistem penilaian kinerja 360 derajat, yaitu :
  1. Principal, yaitu atasan yang memberikan pengawasan secara langsung dalam hal ini bisa kepala sekolah.
  2.  Peer (rekan kerja), yaitu karyawan atau guru yang mempunyai posisi sama atau setara baik guru bimbingan konseling maupun guru bidang studi atau mata pelajaran.
  3. Suport staff, yaitu guru bimbingan konseling yang mempunyai posisi tepat di bawahnya dalam hal ini karena posisi guru bimbingan konseling  sebagai koordinator bimbingan konseling namun hal ini beragam sesuai dengan jumlah personil di sekolah.
  4. Comunity member (komite sekolah) dalam hal ini jika komite dapat berperan aktif dalam mendukung kemajuan sekolah maka tentu komite sekolah juga tidak berkeberatan untuk menjadi pihak yang mampu memberikan kontribusi dalam 360 derajad feed back.
  5. Parent dalam hal ini orang tua mempunyai hak untuk bisa memberikan penilaian karena pada dasarnya orang tua inilah lah merasakan hasil dari kinerja guru bimbingan konseling walaupun tidak secara langsung.
  6. Student dalam hal ini siswa mempunyai hak untuk bisa memberikan penilaian karena siswa ini yang merasakan langsung kinerja dari guru bimbingan dan konseling. selama ini penilaian yang ada (laijapen, laijapang) hanya fokus pada siswa dalam konsep 360 derajat ini siswa juga bisa memberikan penilaian terhadap kinerja guru bimbingan konseling dalam memberikan layanan terhadapnya.
  7. Self (diri sendiri), yaitu penilaian untuk pribadi yang bersangkutan.
Dengan melibatkan atasan langsung, rekan kerja dan bawahan sebagai penilai serta adanya hak bagi guru Bimbingan konseling untuk menilai dirinya sendiri dalam penilaian kinerja tentunya akan dapat meningkatkan obyektifitas penilaian serta tetap mampu menjaga adanya unsur fairness dalam penilaian. Dan dalam teknis pelaksanaannya nanti, perlu adanya pemberian bobot penilaian kepada masing-masing penilai yang tujuannya adalah untuk tetap manjaga kualitas hasil penilaian. Tidak ada standar yang baku dalam penetapan bobot penilaian ini dan perlu adanya penelitian lebih lanjut dalam menentukan besarnya pembobotan. Namun secara garis besar ada pedoman yang dapat digunakan sebagai dasar pemberian bobot masing-masing pihak penilai :
·         Atasan langsung atau kepala sekolah memiliki proporsi paling besar, mengingat atasan langsung adalah pihak yang paling berhak melakukan penilaian.
·         Diri sendiri memiliki proporsi paling kecil, mengingat besarnya potensi subyektifitas dalam memberikan penilaian.
Untuk posisi-posisi tertentu yang tidak memiliki unsur penilai yang lengkap seperti staf ahli yang tidak memiliki bawahan langsung ataupun untuk posisi yang lain, maka penentuan besarnya bobot penilaian akan menyesuaikan. Dengan menerapkan sistem penilaian kinerja 390 derajat ini, ada beberapa sisi positif yang dapat diperoleh, diantaranya :
  1. Lebih obyektif dan mengurangi bias dari pada model evaluasi satu arah.
  2. Mampu meningkatkan awareness guru bimbingan konseling terhadap sekolah
  3. Adanya unsur fairness dalam pelaksanaan penilaian kinerja (karena menyertakan semua komponen untuk memberikan evaluasi.
  4. Mempermudah proses identifikasi kekuatan dalam rangka pengembangan kompetensi lebih lanjut.
  5. Membantu proses pembangunan tim (team work).
Namun yang perlu diperhatikan adalah kualitas dari penilaian kinerja 360 derajat sangat ditentukan dari bagaimana prosedur pelaksanaan yang akan dikembangkan. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penerapan sistem penilaian kinerja 360 derajat agar tujuan dari penerapan sistem ini dapat tercapai dengan baik, diantaranya adalah terjaganya kerahasiaan dari nara sumber atau pihak penilai. Hal ini bertujuan untuk menjaga kualitas penilaian yang dilakukan. Kemudian perlu adanya pemahaman kepada semua komponen penilai mengenai sistem yang akan dijalankan, termasuk proses pengolahan data dan pihak berwenang. Namun terlepas dari itu semua yang terpenting adalah adanya dukungan dari semua pihak, khususnya dari jajaran manajemen puncak sekolah dalam penerapan sistem ini. Bagaimana pun peran pimpinan atau kepala sekolah sangat penentukan keberhasilan dalam penerapan sistem ini.
Dengan penilaian ini maka dapat diketahui seberapa puas stake holder yang ada mendapatkan pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah. Kita juga bisa mengetahui apakah semua layanan telah dengan efektif kita berikan pada pihak yang tepat dan membutuhkan. Apakah kita sudah melaksanakan kerja sesuai dengan 4 bidang bimbingan dan 9 jenis layanan yang ada serta apakah kita bisa memberikan layanan konseling yang dibutuhkan siswa dan orangtua siswa dalam rangka membantu menyelesaikana permasalahannya.
Telah banyak penelitian yang membahas tentang efektifitas dari penggunaan metode penilaian kinerja 360 derajad ini. Penelitian Walker dan Smither (1999), misalnya, menunjukkan bahwa metode penilaian ini mampu memperlihatkan pengaruh positifnya terhadap peningkatan kinerja di antara tahun ke-2 dan ke-3 serta tahun ke-3 dan ke-4 penerapannya, sekalipun belum tampak berpengaruh apapun setelah diterapkan selama 1-2 tahun. Penelitian lain, yang dilakukan oleh Reilly, dkk. (1996), mengindikasikan adanya peningkatan kinerja karyawan di antara tahun ke-1 dan ke-2 penerapan penilaian 3600, dan terus bertahan hingga 2 tahun kemudian. Bahkan, hasil studi Maylett dan Riboldi (2007) memperlihatkan bahwa metode ini bisa digunakan untuk memrediksi kinerja karyawan di masa mendatang.

Tantangan implementasi konsep penilaian kinerja 360 derajat di Indonesia.


Di Indonesia sendiri, penerapan metode penilaian 3600 juga tidak lepas dari kontroversi.. Pertama, menilik budaya Indonesia yang umumnya cenderung kurang ekspresif, umpan balik yang diberikan biasanya tidak memaparkan dengan tegas seberapa tinggi atau sebaliknya seberapa rendah kinerja seseorang. Yang lebih sering muncul adalah kecenderungan untuk menempatkan nilai di seputar titik tengah, dengan membubuhkan kata: cukup, lumayan, agak, atau yang setara dengan itu. Akibatnya, tidak mudah untuk menetapkan siapa yang benar-benar berkinerja bagus, dan siapa yang masih perlu dikembangkan lebih lanjut. Kedua, karena terdidik dalam lingkungan budaya lisan, masyarakat kita tidak terbiasa untuk menuangkan pikiran dalam bentuk tulisan. Dengan demikian, ketika harus menuliskan umpan balik yang diharapkan, mereka cenderung mengalami kesulitan untuk mengungkapkannya secara jelas. Konsekuensinya, tidak mudah untuk mengidentifikasi aspek apa yang sebenarnya sudah dinilai bagus dan aspek apa yang masih harus ditingkatkan. Ketiga, mengingat sifatnya yang mudah memaafkan, orang Indonesia cenderung bersikap murah hati ketika dimintai umpan balik. Akibatnya, penilaian yang diberikan bisa jadi tidak akurat — tidak mencerminkan perilaku dan kinerja yang sebenarnya.
Namun dengan adanya tantangan itu tidak mengurangi keyakinan dari penulis bahwa adanya model penilaian kinerja 360 derajat ini masih lebih baik dari pada konsep DP3 yang cenderung sulit bisa diterima dalam menggambarkan kenyataan kinerja guru dan pegawai di lapangan kerjanya masing masing. 


Dengan adanya model penilaian kinerja 360 derajat  ini diharapakan dapat menambah wacana dalam penilaian kinerja guru bimbingan konseling dimana model penilaian ini bisa memberikan feedback yang cukup efektif untuk meningkatkan performa dalam melayani stake holder yang ada disekolah.
Penulis menggaris bawahi bahwa dalam implementasi model ini pasti ada kendala namun kendala yang ada itu pun pasti ada kemungkinan untuk diselesaikan. Kendala tersebut tidak bisa menafikan bahwa model penilaian 360 derajad adalah suatu konsep yang dilandasi oleh keadilan dlam penilaian.       

Daftar  pustaka


Michael armtrong, performance management key strategies and practical guidelines, United states, thomson-shore, inc.2006
Prof. Dr. H. Prayitno, Msc Ed dkk, Pedoman khusus Bimbingan dan konseling, Departemen Pendidikan Nasional.
Sofyan S. Willis. 2004.Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta
Sugiharto.(2005. Pendekatan dalam Konseling (Makalah). Jakarta : PPPG