Proses penilaian kinerja dalam sebuah organisasi adalah suatu hal untuk mengetahui apakah anggota organisasi itu mampu melaksanakan kegiatan kegiatan yang direncanakan dalam sebuah program. Hal itu perlu dilakukan karena suatu organisasi akan sangat sulit untuk berjalan dan berkembang tanpa adanya kinerja yang baik dari seluruh anggotanya. Telah banyak model penilain kinerja yang muncul baik di sektor bisnis maupun di sektor publik. Namun dari yang telah ada sektor bisnis lebih banyak mengalami perkembangan dari pada sektor publik. Hal ini terkait dengan budaya yang ada di organisasi atau instansi tersebut. Kita ketahui bahwa di sektor bisnis telah muncul metode untuk mereview kinerja karyawannya diataranya adalah penilaian 360 derajad, balance score card dan masih banyak yang lain. Penerapan dan implementasinyapun terlihat lebih efektif dan efisien, hal ini tidak lepas dengan budaya yang ada di sektor bisnis lebih fleksibel, dinamis dan cenderung menyesuaikan keadaan yang memungkinkan.
Kemudian
bagaimana dengan sektor publik? dengan adanya kebudayaan organisasi yang kaku
maka hal ini sangat berpengaruh terhadap model pelaksanaan penilaian kinerja
yang ada. Tidak jarang proses penilaian ini akhirnya berujung pada menurunnya
validitas scoring pada penilaian kinerja pegawai. Sebagai contoh konkrit adalah
dengan adanya DP3 yang masih menyisakan banyak pekerjaan rumah dalam
implementasinya. Hal ini karena indikator indikator yang ada sanngat sulit
untuk dinilai misalnya saja kejujuran kesetiaan , bagaimana hal tersebut dapat
dinilai secara kuantitatif. Bahkan jika di kuantitatifkan apakah hal itu juga
mampu merepresentasikan keadaan yang sebenarnya?
Permasalahan
lain yang timbul mengenai DP3 ini adalah keadaan dilapangan sangat sering kita
temui kasus nilai DP3 seorang bawahan tidak boleh melebihi nilai DP3 atasan.
Kita bisa bayangkan bagaimana efek psikologis terhadap model penilaian semacam
itu. Tentu yang terjadi adalah manipulasi score, berlandaskan budaya kepatutan,
tidak memotivasi dan bahkan tidak bisa memberikan kontribusi yang nyata
terhadap perbaikan kinerja suatu instansi publik. model penilaian disektor
publik inipun masih kental dengan budaya top down (atasan yang menilai
bawahan), atasan yang berhak menentukan standar standar ketercapaian suatu
kinerja. Pada prinsipnya hal itu tidak menjadi masalah namun yang menjadi
permasalahan adalah bagaimana jika kinerja bawahan dituntut untuk dapat bagus
namun atasan sendiri tidak dapat memenuhinya sedangkan dengan adanya budaya top
down itu bawahan tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan feedback terhadap
apa yang dilakukan oleh atasan. Tentu saja hal itu sangat berbahaya terhadap
organisasi, pasti akan sangat sulit menemukan antara bawahan dan atasan dalam
satu frekwensi dalam bekerja.
Berdasarkan
pandangan pandangan dan kenyataan dilapangan itu maka dalam paper ini penulis
ingin mencoba menelaah kemungkinan pengadopsian konsep penilaian kinerja dari
sektor bisnis ke sektor publik. Penulis akan mencoba mengimplementasikan konsep
ini pada entitas sekolah, lebih mengkhususnya pada bimbingan konseling. hal ini
penulis lakukan karena bidang bimbingan konseling telah menjadi sorotan dari
berbagai pihak baik teman sejawat maupun pihak luar dalam hal performa dalam
bekerja. Stereotipe yang ada adalah bahwa guru bimbingan konseling terlihat
tidak ada pekerjaan dan hanya menganggur dan menerima gaji buta. Hal ini mengusik
penulis karena penulis sendiri adalah guru bimbingan konseling dan selalu
berusaha untuk dapat menunjukkan kinerja yang baik. Namun yang menjadi
permasalahan adalah bagaimana cara penulis menngetahui bahwa telah bekerja
dengan baik? Di dalam paper inilah penulis mencoba untuk membahasnya dan semoga
tulisan ini berguna untuk memahami diri atau mengintrospeksi diri khususnya
bagi penulis dan umumnya bagi guru bimbingan konseling yang lain.
Konsep Performance Management
Konsep
penilaian kinerja atau dalam bahasa universalnya performance appraisal muncul
tidak lepas dari adanya konsep performance management. Sedangkan performance
manajemen sendiri mempunyai arti :
Performance management
can be defined as a systematic process for improving organizational performance
by developing the performance of individual and teams. Itis a mean of getting
better result from the organization, team and individual by understanding and
managing performance within an agreed framework of planned golas, standarts and
competence requairement.(Michael armstrong,2006)
Performance
management dapat
didefinisikan sebagai
proses sistematis
untuk meningkatkan
kinerja organisasi dengan
mengembangkan kinerja
individu
dan tim.
Ini berarti bagaimana mendapatkan
hasil rata-rata
yang lebih baik
dari tim,
organisasi dan individu
dengan memahami
dan mengelola
kinerja
dalam kerangka
rencana tujuan yang disepakati,
standarts
dan kebutuhan
akan kompetensi.
(Michael
Armstrong,
2006)
Menurut
definisinya, manajemen kinerja adalah
suatu proses strategis dan terpadu yang menunjang keberhasilan organisasi
melalui pengembangan performansi SDM. Dalam manajemen kinerja kemampuan SDM
sebagai kontributor individu dan bagian dari kelompok dikembangkan melalui
proses bersama antara manajer dan individu yang lebih berdasarkan kesepakatan
daripada instruksi. Kesepakatan ini meliputi tujuan (objectives), persyaratan
pengetahuan, keterampilan dan kemampuan, serta pengembangan kinerja dan
perencanaan pengembangan pribadi.
Manajemen
kinerja bertujuan untuk dapat memperkuat budaya yang berorientasi pada kinerja
melalui pengembangan keterampilan, kemampuan dan potensi-potensi yang dimiliki
oleh SDM. Sifatnya yang interaktif ini akan meningkatkan motivasi dan
memberdayakan SDM dan membentuk suatu kerangka kerja dalam pengembangan
kinerja. Manajemen kinerja juga dapat menggalang partisipasi aktif setiap
anggota organisasi untuk mencapai sasaran organisasi melalui penjabaran sasaran
individu maupun kelompok sekaligus mengembangkan protensinya agar dapat
mencapai sasarannya itu. Berdasarkan tugasnya ini, manajemen kinerja dapat
dijadikan landasan bagi promosi, mutasi dan evaluasi, sekaligus penentuan
kompensasi dan penyusunan program pelatihan. Manajemen kinerja juga dapat
dijadikan umpan balik untuk pengembangan karier dan pengembangan pribadi SDM.
Performance management ini sendiri menurut
(Michael
Armstrong,
2006) mempunyai perhatian khusus terhadap 8 hal yaitu :
- Concern with outputs, outcomes, process and input.( Kepedulian dengan output, hasil, proses dan masukan.)
- Concern with planning (Kepedulian dengan perencanaan)
- Concern with measurement and review (Kepedulian dengan pengukuran dan review)
- Concern continuaous improvement (Kepedulian terus menerus perbaikan)
- Concern with continuous development (Berkaitan erat dengan pembangunan berkelanjutan)
- Concern for communicaton (Kepedulian untuk komunikasi)
- Concern for Stakeholder (Kepedulian terhadap Stakeholder)
- Concern for fairness and tranparency (Kepedulian terhadap keadilan dan Transparansi)
Performance
management dapat juga merupakan sebuah proses yang terus berkelanjutan dari
berbagai kegiatan dalam sebuah organisasi atau entitas. Siklus ini bergerak
dengan dasar continuous improvement atau pengembangan yang berkelanjutan.
Prinsip Dasar Penerapan performance
management
Permormance management yang baik untuk menuju organisasi berkinerja tinggi, harus mengikuti
kaidah-kaidah berikut ini.
Terdapat suatu indikator kinerja (key performance indicator)
Indikator ini harus terukur secara kuantitatif, serta jelas batas
waktu untuk mencapainya dalam menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi oleh
organisasi tersebut sehingga nanti pada saat evaluasi kita bisa mengetahui,
apakah kinerja sudah mencapai target atau belum. Jika pada
organisasi bisnis atau komersial, maka indikator kinerjanya adalah berbagai
aspek finansial seperti laba, pertumbuhan penjualan, lalu indikator pemasaran
seperti jumlah pelanggan, dan sebagainya. Michael Porter, seorang profesor dari
Harvard Business School mengungkapkan bahwa kita tidak bisa memanajemeni
sesuatu yang tidak dapat kita ukur. Jadi, ukuran kuantitatif itu penting.
Organisasi yang tidak memiliki indikator kinerja, biasanya tidak bisa
diharapkan mampu mencapai kinerja yang memuaskan para pihak yang berkepentingan
(stakeholders).
Adanya kontrak kinerja (performance contract)
Semua ukuran
kinerja tersebut biasanya dituangkan ke dalam suatu bentuk kesepakatan antara
atasan dan bawahan yang sering disebut kontrak kinerja. Dengan adanya kontrak kinerja, maka atasan
bisa menilai apakah si bawahan sudah mencapai kinerja yang diinginkan atau
belum. Kontrak kinerja ini berisikan suatu kesepakatan antara atasan dan
bawahan mengenai indikator kinerja yang ingin dicapai, baik sasaran
pancapaiannya maupun jangka waktu pencapaiannya. Ada 2 (dua) hal yang perlu
dicantumkan dalam kontrak kinerja, yaitu sasaran akhir yang ingin dicapai (lag)
serta program kerja untuk mencapainya (lead). Dua haal ini bertujuan agar pada saat evaluasi nanti berbagai pihak bisa
bersikap fair, tidak melihat hasil akhir semata, melainkan juga proses kerjanya.
Adakalanya seorang bawahan belum mencapai semua hasil akhir yang ditargetkan,
tetapi dia sudah melaksanakan semua program kerja yang sudah digariskan. Tentu
saja atasan tetap harus memberikan reward untuk dedikasinya, walaupun sasaran
akhir belum tercapai. Ini juga bisa menjadi basis untuk perbaikan di masa yang
akan datang (continuous improvements).
Terdapat suatu proses siklus manajemen kinerja
Proses ini
haruslah yang baku dan dipatuhi untuk dikerjakan bersama, yaitu perencanaan
kinerja berupa penetapan indikator kinerja, lengkap dengan berbagai strategi
dan program kerja yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang diinginkan,
Pelaksanaan, di mana organisasi bergerak sesuai dengan rencana yang telah
dibuat, jika ada perubahan akibat adanya perkembangan baru, maka lakukanlah
perubahan tersebut, dan terakhir evaluasi kinerja, yaitu menganalisis apakah
realisasi kinerja sesuai dengan rencana yang sudah ditetapkan dulu ? Semuanya harus serba kuantitatif.
Adanya suatu sistem reward dan punishment
Sistem ini bersifat konstruktif dan
konsisten dijalankan. Konsep reward ini tidak selalu bersifat finansial, melainkan juga dalam bentuk lain, seperti promosi,
kesempatan pendidikan, dan sebagainya. Reward dan punishment diberikan setelah
melihat hasil realisasi kinerja, apakah sesuai dengan indikator kinerja yang
telah direncanakan atau belum. Tentu saja ada suatu performance appraisal atau
penilaian kinerja terlebih dahulu sebelum reward dan punishment diberikan.
Hati-hati dengan pemberian punishment, karena dalam banyak hal, pembinaan jauh
lebih bermanfaat.
Terdapat suatu mekanisme performance appraisal atau penilaian kinerja yang
relatif obyektif
Konsep yang sangat terkenal adalah
penilaian 360 derajat, di mana penilaian kinerja dilakukan oleh atasan, rekan
sekerja, pengguna jasa, serta bawahan. Pada prinsipnya manusia itu berpikir
secara subyektif, tetapi berpikir bersama mampu mengubah sikap subyektif itu
menjadi sangat mendekati obyektif. Dengan demikian, ternyata berpikir bersama
jauh lebih obyektif daripada berpikir sendiri-sendiri. Ini adalah semangat yang
ingin dibawa oleh konsep penilaian 360 derajat. Walaupun banyak kritik yang
diberikan terhadap konsep ini, tetapi cukup banyak yang menggunakannya di
berbagai organisasi.
Terdapat suatu gaya kepemimpinan (leadership style) yang mengarah kepada
pembentukan organisasi berkinerja tinggi.
Inti dari
kepemimpinan seperti ini adalah adanya suatu proses coaching, counseling, dan
empowerment kepada para bawahan atau sumber daya manusia di dalam organisasi.
Satu aspek lain yang sangat penting dalam gaya kepemimpinan adalah, sikap
followership, atau menjadi pengikut. Bayangkan jika semua orang menjadi
komandan di dalam organisasi, lantas siapakah yang menjadi pelaksana ? Bukannya
kinerja tinggi yang muncul, melainkan kekacauan di dalam organsiasi (chaos).
Sejatinya, pada kondisi tertentu seseorang harus memiliki jiwa kepemimpinan,
tetapi pada situasi yang lain, dia juga harus memahami bahwa dia juga merupakan
bagian dari sebuah sistem organisasi yang lebih besar, yang harus dia ikuti.
Menerapkan konsep manajemen SDM berbasis kompetensi.
Umumnya
organisasi berkinerja tinggi memiliki kamus kompetensi dan menerapkan
kompetensi tersebut kepada hal-hal penting, seperti manajemen kinerja,
rekruitmen dan seleksi, pendidikan dan pengembangan, dan promosi. Seperti yang
diuraikan pada awal makalah ini, kompetensi tersebut setidaknya mencakup 3
(tiga) hal, yaitu kompetensi inti organsiasi, kompetensi perilaku, serta
kompetensi teknikal yang spesifik terhadap pekerjaan. Jika kompetensi ini sudah
dibakukan di dalam organisasi, maka kegiatan manajemen SDM akan menjadi lebih
transparan, dan pimpinan organisasi juga dengan mudah mengetahui kompetensi apa
saja yang perlu diperbaiki untuk membawa organisasi menjadi berkinerja tinggi.
KONSEP PENILAIAN KINERJA
(PERFORMANCE APPRAISAL)
Definisi performance appraisal atau penilaian kinerja
adalah
A performance appraisal (PA) or
performance evaluation is a systematic and periodic process that assesses an
individual employee’s job performance and productivity in relation to certain
pre-established criteria and organizational objectives (wikipedia, 2012)
Sebuah
penilaian kinerja
(PA)
atau penilaian kinerja adalah proses
sistematis dan
berkala yang
menilai prestasi
kerja karyawan
individu dan
produktivitas
dalam kaitannya dengan
tertentu
yang ditetapkan sebelumnya
kriteria dan
tujuan organisasi (Wikipedia 2012)
Ada stereotipe
yang mengatakan bahwa performance management sama dengan performance appraisal
namun sesungguhnya dua hal tersebut adalah dua konsep yang berbeda walau saling
berkaitan dlam artian dalam performance management bisa jadi di dalamnya ada
proses performnace appraisal. Satu hal yang membedakan adalah performnace
management lebih berkelanjutan, lebih luas dan lebih komprehensif serta merupakan proses manajemen yang alamiah
yang mengklarifikasi harapan utama, dan menegaskan bagaimana manajer yang
diharapkan mampu menjadi seorang pelatih atau pembimbing dari pada hakim
mengenai rencana di masa yang akan datang. Perbedaan itu sendiri lebih jelas di
sampaikan michael armstrong sebagai berikut :
PERFORMANCE
APPRAISAL
|
PERFORMANCE MANAGEMENT
|
|
|
Dari pengertian
performance appraisal atau penilaian kinerja tersebut dapat kita ketahui bahwa
penilaian kinerja bersifat top down dan secara obyektif kuantitatif dalam
implementasinya. Penilaian kinerja biasanya dilakukan atasan untuk menilai
bawahannya, apakah kinerja sesuai dengan yang diharapkan. Kedua konsep ini
selalu berjalan berdampingan dan saling mendukung hal ini seperti yang
diutarakan oleh Elaine D pulakos ,P.Hd yang menyatakan bahwa :
When a performance management system is used for decision-making,
the appraisal information is used as a basis for pay increases, promotions,
transfers, assignments, reductions in force or other administrative HR actions.
When a performance management system is used for development, the appraisal
information is used to guide the training, job experiences, mentoring and other
developmental activities that employees will engage in to develop their
capabilities.(Elaine D pulakos,2004 )
Ketika
sistem manajemen kinerja digunakan untuk pengambilan keputusan,
informasi penilaian digunakan sebagai dasar untuk kenaikan gaji,
promosi, transfer, tugas, penurunan paksaan
atau tindakan lain oleh administratif bidang SDM. Ketika sebuah
sistem manajemen kinerja yang digunakan
untuk pengembangan, informasi penilaian digunakan untuk memandu pelatihan, pengalaman kerja, mentoring dan kegiatan pembangunan lainnya bahwa karyawan akan terlibat dalam mengembangkan kemampuan mereka. (Elaine D pulakos,
2004)
Kemudian dengan
berkembangnya paradigma appraisal kemudian muncul sebuah gagasan bagaimana jika
kita menginginkan untuk mengevaluasi diri dan mendapatkan masukan dari berbagai
pihak sehingga kita benar benar mendapatkan sebuah temuan obyektif yang bisa
menjadi pedoman kita untuk memperbaiki diri? Maka munculah sebuah konsep
penilaian 360 derajat yang dapat diimplementasikan dalam sebuah organisasi
sektor bisnis.
Konsep penilaian kinerja 360 derajad
Pendekatan penilaian kinerja 360 derajat merupakan bentuk pendekatan yang
diharapkan dapat mengurangi bias dan subjektivitas dari penilaian kinerja
dengan pendekatan atas-bawah. Secara definisi penilaian kinerja 360 derajat
dapat diartikan sebagai proses yang melibatkan kegiatan pengumpulan data-data
perihal persepsi atas perilaku seseorang atau individu serta dampak perilaku
tersebut kepada atasan (boss), kolega (peers), bawahan dan anggota-anggota lain
dalam suatu tim (Karmawijaya, 2007).
Ada empat elemen yang mendasari sistem penilaian kinerja 360 derajat :
- Penilaian ke atas (upward appraisal) : Penilaian yang dilakukan bawahan terhadap hasil dan pencapaian atasannya.
- Penilaian mengarah ke bawah (downward appraisal) : Format penilaian tradisional di mana atasan menilai bawahan.
- Penilaian setara (peer appraisal) : Penilaian yang diberikan kepada seorang karyawan oleh rekan sekerjanya.
- Penilaian oleh diri sendiri (self appraisal) : Penilaian yang diberikan oleh pribadi tiap karyawan mengenai hasil pencapaiannya sekarang dan rencana jangka panjang
Keuntungan Dan Kerugian 360 Derajat
Berdasarkan
kuliah yang saya ikuti di kelas diknas MMUGM penilaian 360 derajat ini memiliki
keuntungan dan memiliki kelemahan yaitu :
Keuntungan
- Individu lebih menyadari kompetensi yang relevan dgn bidang tugasnya
- Umpan balik yang lebih dapat dipercaya
- Lebih menjelaskan kriteria kinerja yang dinilai
- Menyadarkan atasan akan pengaruh dirinya terhadap orang lain
- Lebih fokus pada isu-isu pengembangan karyawan
Kerugian
- Orang cenderung kurang terbuka dalam memberikan umpan balik
- Orang cenderung merasa tertekan baik yang menerima dan memberikan umpan balik
- Kurangnya kegiatan lanjut setelah diberikan umpan balik
- Ada pengaruh birokrasi
Berbeda dengan penilaian
konvensional, metode penilaian 3600 mengusung mekanisme dimana
kinerja seorang karyawan dinilai berdasarkan umpan balik dari setiap orang yang
memiliki hubungan kerja dengannya atasan, rekan kerja, mitra, anak buah,
pelanggan. Pendek kata, metode ini mencoba mengumpulkan masukan dari berbagai
narasumber di lingkungan kerja karyawan.
Dalam implementasinya, kalau
pada metode konvensional para atasan menemui anak buah mereka satu per satu
untuk mendiskusikan penilaian kinerja yang mereka berikan, pada metode
penilaian 3600 mereka bertemu dengan anak buah mereka untuk membahas
umpan balik yang mereka terima dari banyak pihak. Tentu saja, pihak-pihak yang
dimintai masukan ini terbatas pada orang-orang yang diyakini mampu
menggambarkan kinerja si karyawan.
Dengan mendapatkan umpan balik
3600, karyawan akan terbantu untuk menilai diri mereka sebagaimana
orang-orang di sekitar mereka melihat mereka. Umpan balik itu bisa
mengungkapkan area-area dimana si karyawan sudah menunjukkan kinerja yang
sangat bagus dan area-area dimana mereka masih perlu meningkatkan diri. Yang
menarik, informasi ini bisa mencakup sejumlah aspek yang tidak disadari baik
oleh si karyawan sendiri maupun oleh atasan mereka.
Idealnya, karyawan akan
memersepsi metode penilaian 3600 sebagai metode yang lebih fair
dan akurat. Mereka akan merasa lebih nyaman dinilai dari berbagai sudut oleh
berbagai pihak, dan bukan hanya oleh atasan langsung maupun tak langsung yang
dianggap memiliki pengetahuan terbatas mengenai apa yang telah mereka lakukan.
Di sisi lain, para manajer juga akan melihat metode ini sebagai metode yang
lebih objektif dan akurat. Mereka bisa mendapatkan umpan balik yang tidak bias
dari sumber-sumber anonim yang mengetahui kinerja anak buah mereka, dan dengan
demikian mereka juga bisa terbebas dari tuduhan melakukan favoritisme.
KONSEP BIMBINGAN KONSELING
Untuk memperoleh pengertian yang jelas
tentang “bimbingan”, berikut dikutipkan pengertian bimbingan (guidance)
menurut beberapa sumber. Year Book of Education (1955) menyatakan
bahwa: guidance is a process of helping individual through their own
ffort to discover develop their potentialisties
both for personal happiness and social usefulness.
Definisi yang diungkapkan oleh Miller
(dalam Jones, 1987) nampaknya merupakan definisi yang lebih mengarah pada
pelaksanaan bimbingan di sekolah. Definisi tersebut menjelaskan bahwa: “Bimbingan adalah proses bantuan terhadap
individu untuk mencapai pemahan diri dan pengarahan diri yang dibutuhkan untuk
melakukan penyesuaian diri secara maksimum kepada sekolah, keluarga, serta
masyarakat”.
Rogers (dalam Kusmintardjo, 1992)
memberikan pengertian konseling sebagai berikut: Counseling is a series of
direct contats with the individual which aims to offer him assistance in
changing his attitude and behavior. Konseling adalah serangkaian
kontak atau hubungan bantuan langsung dengan individu dengan tujuan memberikan
bantuan kepadanya dalam merubah sikap dan tingkah lakunya).
Selanjutnya Mortensen (dalam Jones,
1987) memberikan pengertian konseling sebagai berikut: Counseling may,
therefore, be defined as a person to person process in which one person
is helped by another to increase in understanding and ability to meet
his problems”. Konseling dapat didefinisikan sebagai suatu proses hubungan
seseorang dengan seseorang di mana yang seorang dibantu oleh yang lainya untuk
menemukan masalahnya.
Dengan demikian jelaslah, bahwa
konseling merupakan salah satu teknik pelayanan bimbingan secara keseluruhan,
yaitu dengan cara memberikan bantuan secara individual (face to face
relationship). Bimbingan tanpa konseling ibarat pendidikan tanpa pengajaran
atau perawatan tanpa pengobatan. Kalaupun ada perbedaan di antara keduanya
hanyalah terletak pada tingkatannya.
Bidang kegiatan bimbingan dan konseling
Ranah Tugas guru bimbingan dan
konseling/konselor yang dapat diketahui untuk pelaksanaannya yaitu membantu
peserta didik dalam:
- Pengembangan kehidupan pribadi, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami, menilai bakat dan minat.
- Pengembangan kehidupan sosial, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai serta mengembangkan kemampuan hubungan sosial dan industrial yang harmonis, dinamis, berkeadilan dan bermartabat.
- Pengembangan kemampuan belajar, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik mengembangkan kemampuan belajar untuk mengikuti pendidikan sekolah/madrasah secara mandiri.
- Pengembangan karir, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai informasi, serta memilih dan mengambil keputusan karir.
Jenis layanan Bimbingan konseling
- Layanan orientasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik memahami lingkungan baru, terutama lingkungan sekolah/ madrasah dan obyek-obyek yang dipelajari, untuk menyesuaikan diri serta mempermudah dan memperlancar peran peserta didik di lingkungan yang baru.
- Layanan informasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik menerima dan memahami berbagai informasi diri, sosial, belajar, karir/jabatan, dan pendidikan lanjutan.
- Layanan penempatan dan penyaluran, yaitu layanan yang membantu peserta didik memperoleh penempatan dan penyaluran yang tepat di dalam kelas, kelompok belajar, jurusan/program studi, program latihan, magang, dan kegiatan ekstra kurikuler.
- Layanan penguasaan konten, yaitu layanan yang membantu peserta didik menguasai konten tertentu, terutama kompetensi dan atau kebiasaan yang berguna dalam kehidupan di sekolah/madrasah, keluarga, industri dan masyarakat.
- Layanan konseling perorangan, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam mengentaskan masalah pribadinya. (khusus untuk layanan ini sangat diperlukan kesepakatan kesepakatan khusus antara siswa sebagai klien, guru bimbingan dan konseling serta pengawas).
- Layanan bimbingan kelompok, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam pengembangan pribadi, kemampuan hubungan sosial, kegiatan belajar, karir/jabatan, dan pengambilan keputusan, serta melakukan kegiatan tertentu melalui dinamika kelompok.
- Layanan konseling kelompok, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam pembahasan dan pengentasan masalah pribadi melalui dinamika kelompok.
- Layanan konsultasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik dan atau pihak lain dalam memperoleh wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang perlu dilaksanakan dalam menangani kondisi dan atau masalah peserta didik
- Layanan mediasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik menyelesaikan permasalahan dan memperbaiki hubungan antar mereka.
Kegiatan-kegiatan pendukung bimbingan konseling:
- Aplikasi instrumentasi, yaitu kegiatan mengumpulkan data tentang diri peserta didik dan lingkungannya, melalui aplikasi berbagai instrumen, baik tes maupun nontes.
- Himpunan data, yaitu kegiatan menghimpun data yang relevan dengan pengembangan peserta didik, yang diselenggarakan secara berkelanjutan, sistematis, komprehensif, terpadu dan bersifat rahasia.
- Konferensi kasus, yaitu kegiatan membahas permasalahan peserta didik dalam pertemuan khusus yang dihadiri oleh pihak-pihak yang dapat memberikan data, kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya masalah peserta didik, yang bersifat terbatas dan tertutup.
- Kunjungan rumah, yaitu kegiatan memperoleh data, kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya masalah peserta didik melalui pertemuan dengan orang tua atau keluarganya.
- Tampilan kepustakaan, yaitu kegiatan menyediakan berbagai bahan pustaka yang dapat digunakan peserta didik dalam pengembangan pribadi, kemampuan sosial, kegiatan belajar, dan karir/jabatan.
- Alih tangan kasus, yaitu kegiatan untuk memindahkan penanganan masalah peserta didik ke pihak lain sesuai keahlian dan kewenangannya.
Implementasi konsep 360 derajat di Bimbingan Konseling
Pendekatan penilaian kinerja 360 derajat merupakan metode penilaian yang
mengedepankan kualitas hasil penilaian dengan meminimalisir terjadinya
subyektifitas penilaian dengan cara melibatkan seluruh pihak yang
berkepentingan dalam proses penilaian tersebut. Untuk itu dalam aplikasinya dalam dunia
pendidikan terutama bimbingan konseling, ada beberapa
pihak yang bertindak sebagai penilai dalam sistem penilaian kinerja 360
derajat, yaitu :
- Principal, yaitu atasan yang memberikan pengawasan secara langsung dalam hal ini bisa kepala sekolah.
- Peer (rekan kerja), yaitu karyawan atau guru yang mempunyai posisi sama atau setara baik guru bimbingan konseling maupun guru bidang studi atau mata pelajaran.
- Suport staff, yaitu guru bimbingan konseling yang mempunyai posisi tepat di bawahnya dalam hal ini karena posisi guru bimbingan konseling sebagai koordinator bimbingan konseling namun hal ini beragam sesuai dengan jumlah personil di sekolah.
- Comunity member (komite sekolah) dalam hal ini jika komite dapat berperan aktif dalam mendukung kemajuan sekolah maka tentu komite sekolah juga tidak berkeberatan untuk menjadi pihak yang mampu memberikan kontribusi dalam 360 derajad feed back.
- Parent dalam hal ini orang tua mempunyai hak untuk bisa memberikan penilaian karena pada dasarnya orang tua inilah lah merasakan hasil dari kinerja guru bimbingan konseling walaupun tidak secara langsung.
- Student dalam hal ini siswa mempunyai hak untuk bisa memberikan penilaian karena siswa ini yang merasakan langsung kinerja dari guru bimbingan dan konseling. selama ini penilaian yang ada (laijapen, laijapang) hanya fokus pada siswa dalam konsep 360 derajat ini siswa juga bisa memberikan penilaian terhadap kinerja guru bimbingan konseling dalam memberikan layanan terhadapnya.
- Self (diri sendiri), yaitu penilaian untuk pribadi yang bersangkutan.
Dengan
melibatkan atasan langsung, rekan kerja dan bawahan sebagai penilai serta
adanya hak bagi guru Bimbingan konseling untuk menilai dirinya sendiri dalam penilaian kinerja tentunya akan dapat
meningkatkan obyektifitas penilaian serta tetap mampu menjaga adanya unsur fairness
dalam penilaian. Dan dalam teknis pelaksanaannya nanti, perlu adanya
pemberian bobot penilaian kepada masing-masing penilai yang tujuannya adalah
untuk tetap manjaga kualitas hasil penilaian. Tidak ada standar yang baku dalam
penetapan bobot penilaian ini dan perlu adanya penelitian lebih lanjut dalam
menentukan besarnya pembobotan. Namun secara garis besar ada pedoman yang dapat
digunakan sebagai dasar pemberian bobot masing-masing pihak penilai :
·
Atasan langsung
atau kepala
sekolah memiliki proporsi paling besar,
mengingat atasan langsung adalah pihak yang paling berhak melakukan penilaian.
·
Diri sendiri
memiliki proporsi paling kecil, mengingat besarnya potensi subyektifitas dalam
memberikan penilaian.
Untuk
posisi-posisi tertentu yang tidak memiliki unsur penilai yang lengkap seperti
staf ahli yang tidak memiliki bawahan langsung ataupun untuk posisi yang lain,
maka penentuan besarnya bobot penilaian akan menyesuaikan. Dengan menerapkan
sistem penilaian kinerja 390 derajat ini, ada beberapa sisi positif yang dapat
diperoleh, diantaranya :
- Lebih obyektif dan mengurangi bias dari pada model evaluasi satu arah.
- Mampu meningkatkan awareness guru bimbingan konseling terhadap sekolah
- Adanya unsur fairness dalam pelaksanaan penilaian kinerja (karena menyertakan semua komponen untuk memberikan evaluasi.
- Mempermudah proses identifikasi kekuatan dalam rangka pengembangan kompetensi lebih lanjut.
- Membantu proses pembangunan tim (team work).
Namun yang perlu diperhatikan adalah
kualitas dari penilaian kinerja 360 derajat sangat ditentukan dari bagaimana
prosedur pelaksanaan yang akan dikembangkan. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penerapan sistem penilaian kinerja 360
derajat agar tujuan dari penerapan sistem ini dapat tercapai dengan baik,
diantaranya adalah terjaganya kerahasiaan dari nara sumber atau pihak penilai.
Hal ini bertujuan untuk menjaga kualitas penilaian yang dilakukan. Kemudian
perlu adanya pemahaman kepada semua
komponen penilai mengenai sistem yang akan dijalankan, termasuk proses
pengolahan data dan pihak berwenang. Namun terlepas
dari itu semua yang terpenting adalah adanya dukungan dari semua pihak,
khususnya dari jajaran manajemen puncak sekolah dalam penerapan sistem ini.
Bagaimana pun peran pimpinan atau kepala sekolah sangat penentukan keberhasilan dalam penerapan sistem ini.
Dengan
penilaian ini maka dapat diketahui seberapa puas stake holder yang ada
mendapatkan pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah. Kita juga bisa
mengetahui apakah semua layanan telah dengan efektif kita berikan pada pihak
yang tepat dan membutuhkan. Apakah kita sudah melaksanakan kerja sesuai dengan
4 bidang bimbingan dan 9 jenis layanan yang ada serta apakah kita bisa
memberikan layanan konseling yang dibutuhkan siswa dan orangtua siswa dalam
rangka membantu menyelesaikana permasalahannya.
Telah
banyak penelitian yang membahas tentang efektifitas dari penggunaan metode
penilaian kinerja 360 derajad ini. Penelitian Walker dan Smither (1999),
misalnya, menunjukkan bahwa metode penilaian ini mampu memperlihatkan pengaruh
positifnya terhadap peningkatan kinerja di antara tahun ke-2 dan ke-3 serta
tahun ke-3 dan ke-4 penerapannya, sekalipun belum tampak berpengaruh apapun
setelah diterapkan selama 1-2 tahun. Penelitian lain, yang dilakukan oleh
Reilly, dkk. (1996), mengindikasikan adanya peningkatan kinerja karyawan di
antara tahun ke-1 dan ke-2 penerapan penilaian 3600, dan terus
bertahan hingga 2 tahun kemudian. Bahkan, hasil studi Maylett dan Riboldi
(2007) memperlihatkan bahwa metode ini bisa digunakan untuk memrediksi kinerja
karyawan di masa mendatang.
Tantangan implementasi konsep penilaian kinerja 360 derajat di Indonesia.
Di
Indonesia sendiri, penerapan metode penilaian 3600 juga tidak lepas
dari kontroversi.. Pertama, menilik budaya Indonesia yang umumnya
cenderung kurang ekspresif, umpan balik yang diberikan biasanya tidak
memaparkan dengan tegas seberapa tinggi atau sebaliknya seberapa rendah kinerja
seseorang. Yang lebih sering muncul adalah kecenderungan untuk menempatkan
nilai di seputar titik tengah, dengan membubuhkan kata: cukup, lumayan, agak,
atau yang setara dengan itu. Akibatnya, tidak mudah untuk menetapkan siapa yang
benar-benar berkinerja bagus, dan siapa yang masih perlu dikembangkan lebih
lanjut. Kedua, karena terdidik dalam lingkungan budaya lisan,
masyarakat kita tidak terbiasa untuk menuangkan pikiran dalam bentuk tulisan.
Dengan demikian, ketika harus menuliskan umpan balik yang diharapkan, mereka
cenderung mengalami kesulitan untuk mengungkapkannya secara jelas.
Konsekuensinya, tidak mudah untuk mengidentifikasi aspek apa yang sebenarnya
sudah dinilai bagus dan aspek apa yang masih harus ditingkatkan. Ketiga,
mengingat sifatnya yang mudah memaafkan, orang Indonesia cenderung bersikap
murah hati ketika dimintai umpan balik. Akibatnya, penilaian yang diberikan
bisa jadi tidak akurat — tidak mencerminkan perilaku dan kinerja yang
sebenarnya.
Namun
dengan adanya tantangan itu tidak mengurangi keyakinan dari penulis bahwa
adanya model penilaian kinerja 360 derajat ini masih lebih baik dari pada
konsep DP3 yang cenderung sulit bisa diterima dalam menggambarkan kenyataan
kinerja guru dan pegawai di lapangan kerjanya masing masing.
Dengan
adanya model penilaian kinerja 360 derajat
ini diharapakan dapat menambah wacana dalam penilaian kinerja guru
bimbingan konseling dimana model penilaian ini bisa memberikan feedback yang
cukup efektif untuk meningkatkan performa dalam melayani stake holder yang ada
disekolah.
Penulis
menggaris bawahi bahwa dalam implementasi model ini pasti ada kendala namun
kendala yang ada itu pun pasti ada kemungkinan untuk diselesaikan. Kendala
tersebut tidak bisa menafikan bahwa model penilaian 360 derajad adalah suatu
konsep yang dilandasi oleh keadilan dlam penilaian.
Daftar pustaka
Michael armtrong, performance management
key strategies and practical guidelines, United states, thomson-shore, inc.2006
Prof. Dr. H. Prayitno, Msc Ed dkk, Pedoman khusus Bimbingan dan konseling,
Departemen Pendidikan Nasional.
Sofyan S. Willis.
2004.Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta
Sugiharto.(2005.
Pendekatan dalam Konseling (Makalah). Jakarta : PPPG
http://en.wikipedia.org/wiki/Performance_appraisal (diakses
tanggal 12 juni 2012)
http://stiebanten.blogspot.com/2011/05/konsep-dasar-manajemen-kinerja.html (diakses 13 juni 2012)
http://performanceappraisalguide.com/360-degree-feedback-2
(diakses 16 juni 2012)
http://michaeladryanto.wordpress.com/2011/11/09/mengenali-metode-penilaian-360-derajat/
(diakses 16 juni 2012)