LATAR BELAKANG
Rinto bayu wibowo
Pendidikan
adalah sebuah sarana pokok untuk dapat mencapai kemajuan sebuah negara. Dari
sektor pendidikan inilah kita mengharapkan terciptanya kader kader penerus
bangsa yang mampu memimpin dan membangun indonesia agar mampu bersaing
menghadapi kemajuan zaman. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita sudah
mempersiapkan dunia pendidikan kita dengan baik? Apakah kita sudah menjalankan
amanat undang undang dasar. Kita harus mengakui bahwa masih banyak hal yang
perlu kita perbaiki untuk mencapai cita cita tersebut.
Pada kurun waktu beberapa tahun
akhir ini dunia pendidikan kita sedang mengalami berbagai macam cobaan dan
rintangan untuk mewujudkan mutu pendidikan yang baik. Berbagai macam kasus
bermunculan baik di pusat maupun daerah, maka untuk menanggulangi hal tersebut
pemerintah selalu berusaha untuk membuat berbagai macam program yang mendukung
perbaikan mutu pendidikan. Perbaikan mutu pendidikan ini dimulai dengan adanya
keputusan pemerintah bahwa pendanaan atau pembiayaan pendidikan dianggarkan
sebesar 20 % dari APBN dan APBD. Hal tersebut tercantum dalam perubahan keempat
undang undang dasar 45 pasal 31 yang berbunyi sebagai berikut:
- Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan
- Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya
- Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.
- Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
- Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradapan serta kesejahteraan umat manusia.
Munculnya konsep school based management
atau manajemen berbasis sekolah diindonesia mulai tahun 1999 tepat setelah
runtuhnya rezim soeharto pada tahun 1998 yang mengangkut prinsip sentralisasi
dalam pemerintahan. Perubahan paradigma dalam dunia kependidikan indonesia
seperti terlihat dalam undang undang tersebut tidak lepas dari perubahan
paradigma pemerintahan berupa desentralisasi. Dengan adanya desentralisasi maka
pelimpahan wewenang dalam bidang pendidikanpun terjadi dimana MBS atau
manajemen berbasis sekolah adalah salah satu program atau konsep yang
merepresentasikan hal itu. Landasan hukum pelaksanaan MBS di sekolah adalah
sebagai berikut :
1.
Undang undang nomor 22 tahun
1999 tentang pemerintahan daerah.
2.
Undang undang nomor 20 tahun
2003 tentang sistem pendidikan nasional.
Berdasarkan undang undang tersebut maka
manajemen berbasis sekolah ini menjadi populer di kalangan dunia pendidikan
indonesia dan mulai digalakkan pada tahun 2001. Penerapan MBS ini sendiri
seiring berjalannya waktu mengalami berbagai macam kendala dan masalah yang
mengakibatkan kurang maksimalnya pemberian layanan pendidikan pada konsumen
dalam hal ini orangtua siswa dan siswa itu sendiri.
KONSEP MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
Definisi Manajemen Berbasis Sekolah
Prof. Slamet PH (2001)
mendefinisikan MBS berangkat dari kata manajemen, berbasis, dan sekolah. Menurut
Slamet, manajemen berarti koordinasi dan penyerasian sumber daya melalui
sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi kebutuhan
pelanggan. Berbasis artinya “berdasarkan pada” atau “berfokuskan pada”.
Sedangkan sekolah merupakan organisasi terbawah di jajaran Departemen
Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang bertugas memberikan “bekal kemampuan
dasar” kepada peserta didik atas dasar ketentuan-ketentuan yang bersifat
legalistik (makro, meso, mikro) dan profesionalistik (kualifikasi, untuk sumber
daya manusia). Atas dasar itu pula, Prof.Slamet
PH menyimpulkan bahwa MBS adalah pengkoordinasian dan penyerasian sumber daya
yang dilakukan secara otonom (mandiri) oleh sekolah melalui sejumlah input
manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional,
dengan melibatkan semua kelompok kepentingan
yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan
keputusan (partisipatif). Kelompok kepentingan tersebut meliputi: kepala
sekolah dan wakil-wakilnya, guru, siswa, konselor, tenaga administratif,
orangtua siswa, tokoh masyarakat, para profesional, wakil pemerintahan, wakil
organisasi pendidikan. Adapun ahli lain dalam jurnal pendidikan yang di muat
oleh UNESCO pada tahun 1998 menyatakan bahwa :
School-based management can be viewed
conceptually as a formal alternation of governence structures, as a form or
decentralization that identifies the individual school as the primary unit of
improvement and relies on the redistribution of decision making authority as
the primary means through which improvement might be stimulated and sustained
(malen, Ogawa and Kranz,1990,p.1)
Manajemen berbasis sekolah
secara konseptual dapat dilihat sebagai pergantian struktur
formal kepemerintahan, sebagai
bentuk atau desentralisasi yang
mengidentifikasi sekolah sebagai
unit utama dalam peningkatan
dan bergantung pada redistribusi otoritas pengambilan keputusan sebagai sarana utama melalui perbaikan mana yang mungkin dirangsang dan secara berkelanjutan (Malen, Ogawa dan Kranz,
1990, hal.1).
Berdasarkan
dua pengertian tersebut dapat diambil pengertian MBS secara singkat yaitu
pemanfaata sumberdaya yang dilakukan
secara mandiri oleh sekolah untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka
pendidikan nasional, dengan melibatkan stake holder sekolah secara langsung
dalam proses pengambilan keputusan.
Tujuan MBS
Sebuah sekolah yang telah menerapkan
MBS pastilah mampu menerjemahkan konsep dan memahami bahwa MBS ini
dialaksanakan dengan sebuah tujuan tertentu. Adapun tujuan MBS menurut bebrapa
ahli mempunyai bahasa yang berbeda namun dapat kita tarik benang merahnya
berupa “perberdayaan”, dalam tulisan ini kami mengangkat tujuan MBS berdasarkan
dari dua sumber yaitu sebagai beikut :
Manajemen berbasis sekolah bertujuan
untuk “memberdayakan” sekolah, terutama sumberdaya manusianya (kepala sekolah,
guru,karyawan, siswa, orang tua siswa dan masyarakat sekitarnya), melalui
pemberian kewenangan, fleksibilitas dan sumber daya lain untuk memecahkan
persoalan yang dihadapi oleh sekolah yang bersangkutan. (Prof. Slamet
PH, Med, MLHR, Ph.D )
Selain
pendapat dari Prof slamet PH, kemendiknas dalam buku pedoman juga menyampaikan
tujuan MBS di indonesia adalah sebagai berikut :
- Meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan kemandirian, fleksibilitas, partisipasi, keterbukaan, kerjasama, akuntabilitas, kesinambungan daninisiatif sekolah dalam mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan sumberdaya yang tersedia ;
- Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama ;
- Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat dan pemerintah tentang mutu sekolahnya ;
- Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai
- Meningkatkan efisiensi, relevansi, dan pemerataan pendidikan di mana sekolah berada.
Dengan tujuan
program yang jelas maka dapat dipastikan semua kegiatan yang dilakukan di dalamnya
pasti mempunyai dasar untuk mewujudkan tujuan tersebut, dan dalam pelaksanaanya
kita dapat melihat secara nyata mana sekolah yang telah melaksanakan MBS dan
mana yang tidak melalui berbagai macam karakteristik yang muncul.
Karakteristik MBS
Karakteristik
MBS dapat kita rangkum berdasarkan input, proses dan output pendidikannya,
dalam tabel dibawah ini penulis mencoba untuk meragkum karakteristik MBS
berdasarkan buku pedoman yang ada. Menurut Depdiknas pada tahun 2003 karakteristik MBS diantaranya adalah :
Input
pendidikan
|
Proses
pendidikan
|
Output pendidikan
|
1.
Memiliki kebijakan, tujuan dan sasaran mutu yang
jelas
2.
Tersedianya sumberdaya
3.
Staf yang kompeten dan berdedikasi tinggi
4.
Memiliki harapan prestasi yang tinggi
5.
Fokus pada pelanggan (khususnya peserta didik)
6.
Input manajemen
|
1. Proses pembelajaran yang
efektifitasnya tinggi
2. Kepemimpinan sekolah yang kuat
3. Lingkungan sekolah yang aman
dan tertib
4. Pengelolaan tenaga kependidikan
yang efektif
5. Sekolah memiliki budaya mutu
6. Sekolah memiliki team work yang
kompak, cerdas dan dinamis
7. Sekolah memiliki kewenangan
(kemandirian)
8. Partisipasi yang tinggi dari
warga sekolah dan masyarakat
9. Sekolah memiliki keterbukaan
(transparansi manajemen)
10. Sekolah memiliki kemauan untuk
berubah (psikologis dan fisik)
11. Sekolah melakukan evaluasi dan
perbaikan secara berkelanjutan
12. Sekolah responsif dan
antisipasif terhadap kebutuhan
13. Memiliki komunikasi yang sehat
14. Sekolah memiliki akuntabilitas
15. Manajemen lingkungan hidup
16. Sekolah memiliki kemampuan
menjaga kesinambungan
|
1. Academic achievement
2. Non academic achievement
|
Prinsip-Prinsip MBS
Banyak ahli mempunyai
pendapat mengenai prinsip-prinsip MBS namun disini penulis lebih memilih
pendapat yang sejalan dengan karakteristik MBS yang di sampaikan depdiknas
tersebut diatas agar lebih mempunyai
relevansi. Prinsip prinsip MBS ini di sampaikan oleh Prof. Slamet PH, MA, MEd,
MA,MLHR, Ph.D dalam salah satu kuliahnya, prinsib MBS disampaikan sebagai
berikut :
- Dalam rangka pemandirian sekolah harus ada kebijakan yang tegas dan jelas dari pusat dan daerah tentag pembagian kewenangan dan tanggung jawab antara dinas pendidikan kabupaten/kota dan sekolah;
- Kebijakan dan pengawasan pemerintah daerah harus mendukung pelaksanaan mbs dan tidak bertentangan dengannya khususnya dalam pengelolaan dana (catatan : MBS diberi keluwesan keluwesan dalam mengembangkan daya kreasi, inovasi dan eksperimentasi untuk menemukann kemungkinan-kemungkinan baru sehingga memerlukan keluwesan-keluwesan dalam pengelolaan dana, asal dapat dipertanggung jawabkan)
- Sekolah menata kembali struktur organisasinya agar sesuai dengan tuntutan MBS (otonomi, tatakelola yang baik) dan meredistribusi kewenangan, tanggung jawab, akuntabilitas dan abilitas:
- Tata kelola yang baik diterapkan disekolah (partisipasi, transparansi, akuntabilitas, penegakan hukum, keadilan, efektifitas, efisiensi, profesionalisme, demokrasi dsb)
- Sekolah melakukan koordinasi dan sinkronisasi unit-unit yang ada di sekolah dalam rangka membangun tim kerja yang kompak, cerdas, dinamis, harmonis dan lincah;
- Sekolah melakukan pengembangan kapasitas ( kemampuan dan kesanggupan) baik kebijakan, kelembagaan, maupun sumberdayanya (sumberdaya manusia dan sumberdaya selebihnya) melalui berbagai cara, misal : pelatihan, diskusi kelompok terfokus, dan lokakarya ;
- Kultur otonomis, demokratis, bertanggung jawab, berkomitment tinggi, dan respek terhadap orang lain/perbedaan agar disosialisasikan dan diterapkan disekolah.
- Pengambilan resiko, kreatifitas, inovasi dan inisiasi/prakarsa (keberanian moral untuk melakukan hal-hal baru) ditumbuh kembangkan di sekolah;
- Sekolah menerapkan manajemen mutu total (berpusat pada pelanggan internal terutama siswa dan eksternal, perbaikan secara terus menerus dan pelibatan secara total unsur unsur sekolah);
- Kepemimpinan sekolah selalu membangun sekolah sebagai sistem dan menggerakkan warganya untuk membangun team work yang kompak, cerdas, dinamis, harmonis dan lincah serta saling terkait seperti layaknya orkestra, band atau gamelan:
Jika
prinsip prinsip MBS ini dilaksanakan maka akan berbanding lurus dengan
munculnya sebuah karakter dari sekolah pelaksananya. Hal tersebut dapat terjadi
jika semua sektor mampu memberikan kontribusi positif terhadap tereujudnya MBS.
Pelaksanaan
MBS ini tidak terlepas dari berbagai macam kendala dan rintangan dalam
implementasinya, bahkan banyak juga pihak yang mempunyai pandangan skeptis
terhadap konsep manajemen sekolah ini. Namun bagi penulis paper ini kami
menanggapi dengan berlandaskan teori yang sudah ada.
PERMASALAHAN YANG MUNCUL
Berdasarkan penelitian
dari Ai shoraku (2008) yang terbit di jurnal UNESCO tahun 2009 permasalahan
dalam implementasi SBM di asia tenggara khususnya di indonesia dikarenakan
perbedaan sumberdaya yang dimiliki oleh tiap daerah khususnya sekolah dalam
pelaksanaan otoritasnya untuk mengelola sekolah tersebut, hal ini senada dengan
pendapat dari sakurai dan ogawa yang menyatakan bahwa :
Another critique that is sceptical about SBM is that
this reform will produce larger disparities in education within a country.
Transferring responsibilities to each school and relying on its local community
will widen the gap between the areas with more financial and human resources,
and those with fewer resources. With limited financial and administrative
support from their central government, schools in poorer and isolated areas
will not be able to cope with the managerial and administrative workload
(Sakurai and Ogawa 2007)
Kritik
lain yang skeptis
tentang MBS adalah bahwa reformasi ini akan menghasilkan perbedaan yang lebih besar dalam pendidikan di sebuah negara. Memindahkan tanggung jawab kepada setiap sekolah dan mengandalkan komunitas lokal akan
memperlebar kesenjangan antara daerah
dengan sumber daya keuangan dan manusia yang berlebih, dan mereka dengan lebih sedikit
sumber daya. Dengan dukungan keuangan
dan administrasi yang terbatas dari
pemerintah pusat, sekolah di daerah
miskin dan terisolasi tidak akan
mampu mengatasi beban kerja manajerial dan administrasi (Sakurai dan Ogawa 2007).
Permasalahan
lain yang muncul berdasarkan penelitian yang di lakukan oleh sumintono yang
diangkat dalam journal UNESCO oleh Ai shoru adalah sebagai berikut :
The study by
Sumintono (2007) in Lombok reveals the situation that principals tend to
dominate the information on SBM, and other teachers are less knowledgeable
about how and to what extent they can exercise the autonomy they are given. The
teachers attend SBM training organised by the government, and they believe that
SBM benefits the improvement of teaching and learning. They consider that the
authority to formulate school plans and develop curricula should devolve to the
school level. However, they lack practical skills and knowledge to exercise
this authority on site. Furthermore, they are confused about the influx of new
changes, and do not obtain information that is really practical and reliable
(Sumintono 2007). Understanding SBM theory and practicing it on site are quite
different matters.
(Ai shoraku, 2008)
Penelitian oleh Sumintono (2007) di
Lombok mengungkapkan bahwa situasi yang muncul adalah kepala sekolah cenderung mendominasi informasi
pada MBS, dan guru lainnya yang kurang memiliki pengetahuan tentang bagaimana
dan sejauh mana mereka dapat melaksanakan otonomi mereka. Para guru mengikuti
pelatihan MBS diselenggarakan oleh pemerintah, dan mereka percaya bahwa MBS mempunyai
manfaat perbaikan dalam belajar dan mengajar. Mereka menganggap bahwa
kewenangan untuk merumuskan rencana sekolah dan mengembangkan kurikulum harus
berpindah ke tingkat sekolah. Namun, mereka tidak memiliki keterampilan praktis
dan pengetahuan untuk menggunakan wewenang ini di tempat mereka berada. Selain
itu, mereka bingung tentang adanya perubahan baru, dan tidak memperoleh
informasi yang benar-benar praktis dan dapat diandalkan (Sumintono 2007). Memahami
teori MBS dan berlatih di situs adalah hal yang sangat berbeda. Selain
permasalahan tersebut sumintono juga mencatat bahwa ada permasalahan komunikasi
antara komite sekolah dengan pihak yang ada di sekolah. Hasil penelitian itu
diangkat dalam jurnal penelitian oleh Ai shoru sebagai berikut :
Sumintono (2007) also points out the lack of
communication between ordinary teachers and school committees. School
committees tend to communicate with principals, but often do not make enough,
or frequent, contact with other teachers. Compared to principals, teachers
attend committee meetings less frequently. Consequently, with them receiving
less information, their teaching in the classroom remains unchanged, which does
not provide much of a positive impact on the performance of students. (Ai
shoru, 2008).
Sumintono
(2007)
juga menunjukkan
kurangnya komunikasi
antara guru
dan
komite sekolah.
Komite sekolah
cenderung
berkomunikasi dengan
kepala sekolah,
tetapi sering
tidak cukup, atau
tidak sering,
kontak dengan
guru lainnya.
Dibandingkan dengan
kepala sekolah, guru
menghadiri pertemuan
komite
lebih jarang.
Akibatnya,
mereka
menerima informasi
kurang,
pengajaran mereka
di dalam kelas
tetap tidak berubah,
yang tidak memberikan
banyak
dampak positif pada
kinerja
siswa.
Masalah
yang berikutnya muncul adalah komunikasi pihak pemerintah daerah dan dinas
pendidikan dengan sekolah dimana
keleluasaan sekolah untuk mengambil keputusan terampas oleh keputusan dan
kebijakan yang di buat oleh pemerintah daerah. Sebuah penelitian telah
diterbitkan di Journal of NTT studies yang dilakukan Agustinus Bandur pada tahun 2008 menemukan berbagai macam permasalahan antara
sekolah dengan pemerintah daerah setempat diwilayah Nusa Tenggara Timur.
“ Moreover, six teacher representatives complained
about the intervention of District Education Department in terms of
decision-making in selecting school text books. In connection with this case, a
teacher representative commented: In practice, local government officials have
taken over decision-making authority which is supposed to be made by the
school. I refer particularly to how the school text books are dropped by the
local education department, whereas the block grant for books has been
allocated directly to the school bank account from the central government. I
think this is still a problem” (Teacher representative, W05).
Dalam
prakteknya, pejabat pemerintah
daerah telah mengambil alih otoritas
pengambilan keputusan yang seharusnya dilakukan oleh
sekolah. Saya lihat khususnya
bagaimana buku teks
sekolah yang di drop oleh departemen
pendidikan setempat, sedangkan blok grant
untuk buku telah dialokasikan
langsung ke rekening bank sekolah dari pemerintah pusat. Saya rasa ini masih masalah (Guru representatif, W05).
Masalah masalah yang kami sadur dari
journal tersebut adalah sebagian kecil saja dari masalah yang ada dilapangan
dan sangat diperlukan penyelesaian untuk dapat segera melaksanakan manajemen
berbasis sekolah yang seutuhnya dan mampu menghasilkan outcome yang bermutu untuk
membangun masa depan bangsa Indonesia.
PEMBAHASAN
Desentralisasi pendidikan dan otonomi daerah
Sebelum kita berbicara
masalah sbm maka kita pahami terlebih dahulu bagaimana SBM ini muncul. SBM ini
muncul bersama dengan adanya desentralisasi pendidikan sedangkan arti dari desentralisasi itu sendiri berarti " pemindahan perencanaan, pengambilan
keputusan, atau kewenangan administratif dari pemerintah pusat kepada organisasi bidangnya, unit administratif lokal, semi otonom dan organisasi milik negara,
pemerintah daerah, atau organisasi non pemerintah" (Rondinelli
and Cheema 1983, p.18) sedangkan undang undang no 32 tahun 2004 pasal
1 ayat 7 memberikan pengertian Desentralisasi adalah penyerahan
wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sedangkan pengertian Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur
dan
mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan
aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundangundangan. (UU no 22 tahun
1999) pengertian ini kemudian diperbaharui dalam undang undang no 32 tahun 2004
pasal 1 ayat 5, otonomi daerah adalah
hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang undangan. Otonomi lebih cenderung pada produk berupa hak dan
kewajiban, maka desentralisasi lebih cenderung pada prosesnya (dari
pemerintahan yang sentralistik ke desentralistik).(Prof Slamet , PH)
Sehubungan dengan
desentralisasi dan otonomi maka dalam bidang pendidikan akhirnya tercipta
tujuan desentralisasi pendidikan yaitu untuk meningkatkan mutu layanan dan
kinerja pendidikan. Penyelenggaraan desentralisasi pendidikan dari pusat
langsung ke sekolah ini dalam bentuk MBS, hal ini sejalan dengan pengertian
yang di sampaikan oleh worldbank pada tahun 2007 yang mengatakan bahwa
“The decentralisation of
authority from the central government to schools is popularly known as SBM. SBM
is the transfer of decision-making and/or authority over school governance from
the government to the school level (World Bank 2007).
Dari pengertian pengertian tersebut diatas maka tentu akan muncul kelebihan dan
kekurangan untuk menjawab berbagai macam permasalahan yang muncul mengiringi
implementasi SBM di sekolah.
Dampak Positif dan kelemahan implementasi SBM dalam menjawab permasalahan yang muncul
Sebuah program tentu
memiliki kekurangan ataupun kelebihan baik dalam konsep maupun
implementasinya. Salah satu kelemahan
dari SBM menurut King and Guerra 2005; Nabeshima 2003 bahwa dalam penerapan dan konsepnya, SBM muncul
lebih banyak karena permasalahan politik dan fiskal dari pada konsep
kependidikan dan hal ini kebanyakan terjadi di asia tenggara ini terbukti
dengan adanya krisis moneter pada tahun 1997 selama kurang lebih 5 tahun
pemerintah pusat benar benar terbebani
oleh masalah finansial sehingga harus memotong budget negara dalam jumlah yang
besar maka untuk dapat terus menjalankan urusan kependdidikan maka di
terapkanlah desentralisasi sehingga banyak urusan pusat yang dilimpahkan ke
pemerintah daerah agar beban negara terbagi ke daerah, termasuk urusan
pendidikan. Selain hal itu karena terlalu cepatnya program ini dijalankan
berdasarkan keputusan politis dan fiskal maka pemegang tanggung jawab atau
otoritas yang baru yaitu sekolah khususnya guru dan partnernya dalam dunia
pendidikan belum mempunyai pengalaman dan kompetensi yang memadai untuk
menjamin mutu pendidikan meningkat menjadi lebih baik. Kasus ini terjadi tidak
hanya di indonesia saja namun juga terjadi pada beberapa negara asia tenggara
lainnya.
Selain dari manfaat
tersebut diatas maka dengan adanya MBS terjadi pergeseran pendekatan dalam
manajemen pendidikan. Pergeseran tersebut diindentifikasi sebagai berikut
MANAJEMEN BERBASIS PUSAT
|
MENUJU
|
MANAJEMEN
BERBASIS SEKOLAH
|
Sub ordinasi
|
Otonomi
|
|
Pengambilan
keputusan terpusat
|
Pengambilan keputusan partisipatif
|
|
Ruang gerak
kaku
|
Ruang gerak
luwes
|
|
Pendekatan birokratik
|
Pendekatan profesionalisme
|
|
Sentralistik
|
Desentralistik
|
|
Diatur
|
Motivasi diri
|
|
Overregulasi
|
Deregulasi
|
|
Mengontrol
|
Mempengaruhi
|
|
Mengarahkan
|
Memfasilitasi
|
|
Menghindari resiko
|
Mengolah resiko
|
|
Gunakan uang semuanya
|
Gunakan seefisien mungkin
|
|
Individu cerdas
|
Teamwork kompak dan cerdas
|
|
Informasi terpribadi
|
Informasi terbagi
|
|
Pendelegasian
|
Pemberdayaan
|
|
Organisasi hierarkis
|
Organisasi datar
|
Sumber : Slamet PH, 2000
Permasalahan
yang muncul dengan adanya perbedaan sumberdaya manusia maupun sumberdaya lokal
yang lain memang sebuah isu permasalahan yang cukup pelik bagi indonesia.
Munculnya permasalahan ini memang sudah dapat diperkirakan karena indonesia
adalah negara dengan letak geografis yang cukup besar dan beragam. Kasus yang
sama pun pernah terjadi di china dengan adanya desentralisasi maka terdapat
kesenjangan antara daerah satu dengan yang lain contoh paling menonjol adalah
pada tahun 1999 beijing dan shanghai tingkat melek huruf dan keikut sertaan
peserta didik lebih dari 90 % sedangkan di tibet pada tahun yang sama kurang
dari 35 %. Ini menunjukkan bahwa negara besar dengan jumlah penduduk besar juga
memiliki permasalahan geografis dalam peningkatan mutu layanan pendidikan. Hal
ini dikarenakan kesiapan daerah dalam melaksanakan desentralisasi mempunyai
sumberdaya manusia dan sumberdaya lain yang berbeda.
Permasalahan
geografis ini diharapkan dapat teratasi jika pemerintah juga memberikan
perhatian kepada sekolah yang memiliki latar belakang atau background sumber
daya yang berbeda. Di indonesia sendiri sudah ada langkah dari pemerintah untuk
memperhatikan hal itu, ini terbukti dengan adanya program wajib belajar 9 tahun
dan diikuti dengan penentuan standar nasional pendidikan. Dengan adanya
ketentuan tersebut pemerintahpun memberikan dana bantuan BOS kepada sekolah
tingkat dasar dan BOMM pada SMA dan SMK agar dapat melaksanakan standar
pelayanan minimal atau SPM.
Hal
tersebut dilakukan untuk mengurangi kesenjangan sumberdaya yang terjadi antar
daerah dimana daerah yang mempunyai sumberdaya yang baik mampu menjalankan
sekolah berstandar nasional dan internasional. Sedangkan untuk sektor
pemerintahan daerah juga perlu diberikan pemahaman yang menyeluruh dalam pelaksanaan
manajemen berbasis sekolah sehingga terjadi keselarasan dalam pengambilan
keputusan dalam dunia pendidikan.
Ada beberapa langkah strategis
yang dapat diterapkan dalam MBS, sebagaimana dijelaskan Oswald (1995), Kubick
(1988), Wohlstetter dan Mohram (1993) dan Peterson, yaitu:
1. Sekolah
harus memiliki otonomi terhadap empat hal yaitu kekuasaan dan kewenangan,
pengembangan pengetahuan yang berkesinambungan, akses informasi ke segala
bagian dan memberikan penghargaan terhadap setiap orang yang berhasil.
2. Adanya
peran serta masyarakat secara aktif dalam hal pembiayaan, proses pengambilan
keputusan terhadap kurikulum dan instruksional serta non-instruksional.
3. Adanya
kepemimpinan kepala sekolah yang mampu menggerakkan dan mendayagunakan setiap
sumber daya sekolah secara efektif.
4. Adanya
proses pengambilan keputusan yang demokratis dalam dewan sekolah yang aktif
5. semua
pihak harus memahami peran dan tanggung jawabnya secara sungguh-sungguh.
6. Adanya
guidelines dari departemen terkait sehingga dapat mendorong proses pendidikan
di sekolah secara efisien dan efektif.
7. Sekolah
harus memiliki transparansi dan akuntabilitas yang minimal diwujudkan dalam
laporan pertanggungjawaban.
8. Penerapan
MBS harus diarahkan untuk pencapaian kinerja sekolah dan meningkatkan
pencapaian belajar siswa.
9. Hendaknya
mengawali dengan sosialisasi dari konsep MBS, identifikasi peran masing-masing,
mengadakan pelatihan terhadap peran baru, dan impelementasi pada proses
pembelajaran, evaluasi dan melakukan perbaikan.
Dengan
menerapakan langkah strategis yang ada maka diharapkan MBS dapat di laksanakan
dengan baik oleh semua pihak dan mendapatkan dukungan yang sangat diperlukan
agar peningkatan mutu pendidikan dapat di capai.
PENUTUP
Masih
terlalu dini untuk dapat mengatakan bahwa MBS ini berhasil atau gagal dalam
perbaikan dunia pendidikan di indonesia, namun yang menjadi catatan adalah
perbaikan dalam kebijakan dan infrastruktur terus dilakukan agar dapat tercipta
suatu sistem pendidikan yang mampu
memberikan layanan seutuhnya pada masyarakat dalam rangka tercapainya cita cita
sesuai dengan undang undang dasar 1945.
Penelitian perlu dilakukan secara
terus menerus agar dapat diperoleh sebuah data empirik yang bisa menjadi
pedoman pemerintah dan semua pihak yang berkecimpung di dunia pendidikan dalam
perbaikan mutu layanan. Perlu juga menjadi catatan bahwa dunia pendidikan harus
di jauhkan dari pengaruh politik praktis yang tentu saja hal itu akan
berpengaruh dalam semangat pembangunan suatu mutu pendidikan di indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Bandur, A. (2009). the implementation of school based
management in indonesia : creating conflict in regional level. Journal of
NTT studies , 23.
Kemendiknas. (2011). Manajemen
Berbasis Sekolah di SMP pada Era Otonomi Daerah. Jakarta: Direktorat
pembinaan SMP, dirjen Pendidikan dasar, Kementrian Pendidikan Nasional.
Shoraku, A. (2009).
Educational movement Toward School based management in East asia : cambodia,
indonesia and thailand. UNESCO , 1-35.
http://belajarmanajemenonline.wordpress.com/2012/01/25/artikel-mbs/
(diakses tanggal 10 juni 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar